Sunday 28 October 2012

Hijabku, Style Fashionku

Akhirnya Allah mengizinkanku berada di suatu tempat dimana Islam begitu minoritas.
Ya, ini adalah cita-citaku sejak lama. Berada di tempat yang jauh, tak mendengar suara adzan, sulit untuk melaksanakan shalat, sulit mencari makanan halal, dan tidak melihat jilbab.

Indonesia sebagai negara dengan ummat Muslim terbesar di dunia, rupanya telah melenakan muslim didalamnya untuk mensyukuri nikmatnya iman. Mesjid bertebaran dimana-mana, bahkan hanya jarak puluhan meter. Suara adzan selalu menggema di setiap waktu shalat. Makanan halal lebih sering dijumpai dibandingkan dengan yang tak halal. Dan jilbab, seringkali merasa aneh jika melihat seorang ibu yang masih belum berjilbab. Sangking banyaknya perempuan-perempuan berjilbab disini.

Di Korea, semuanya berkebalikan. Jejak pertama lokasi masjid, restoran halal, dan wanita-wanita berjilbab baru kutemukan pada hari ke-5 aku di Korea, yaitu di Itaewon, wilayah yang memang ditempati oleh banyak pendatang dari berbagai negara. Sebelumnya, tidak ada. Setiap kali aku berjalan, dimanapun itu -di kampus, bis, subway (MRT), restaurant, di jalan, di museum, aku merasa dipandang aneh oleh orang-orang disana. Mungkin mereka bingung, style fashion jenis apa itu? Maklum, orang-orang korea rupanya begitu peduli pada penampilan mereka dan masih sangat jarang menemukan orang dengan pakaian nyaris sempurna menutup badannya.

Di satu sisi, mereka yang mengerti, seringkali memperlakukan kami -aku dan temanku dengan lebih spesial. Suatu hari, saat jamuan makan malam, pelayan yang sedang menuangkan arak yang biasa disajikan sebagai minuman penutup dalam hidangan makanan korea, menanyakan terlebih dahulu pada kami, maukah? *tentu dengan bahasa isyarat, karena dia kesulitan berbahasa inggris.  Di saat yang sama, saat kami mengambil makanan prasmanan, seorang pelayan dengan ramah menjelaskan mana saja manakan yang berbahan dasar daging babi pada kami. Kejadian seperti itu berlangsung lebih dari sekali, saat kami akan makan. Di hari yang lain, saat berkunjung ke Folk Museum, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang tiba-tiba membungkukkan badannya dengan kedua tangannya ditempelkan vertikal di depan dadanya, dan mengucapkan "Salam!". Haha, lucu sekali bocah itu.

Hmm.. Rasanya, ada sebuah kebanggan dan ketenangan tersendiri saat kita dikenali tanpa perlu memperkenalkan diri. Rasanya senang sekali ketika oranglain bisa menghormati kita dengan identitas yang telah melekat secara otomatis dalam diri kita.

Terbuktilah sudah sebuah ayat cinta dari-Nya. Hijab ini, memang identitasku sebagai seorang muslimah, agar aku lebih dikenal dan mudah untuk dibedakan diantara yang lain. Hijabku, memang pakaian, yang telah Allah desain untuk melindungiku sebagai seorang muslimah. Hijabku, memang bukti cinta Allah atas hambanya dengan penjagaan langsung dari-Nya.

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orng mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka', yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab : 59)

Ya Rabbi, terimakasih atas kesempatan yang Engkau berikan padaku untuk melihaht sisi lain dari bumi-Mu. Kini aku semakin mencintai-Mu dan Jilbabku. :)





Tuesday 16 October 2012

Go Abroad #3

H-14 menuju korea..
serius nih sendirian?? Ya, aku sudah membekali diri dengan informasi yang bisa kudapatkan. Tapi rasanya tegang sekali, membayangkan kalau aku akan seorang diri di perjalanan udara yang cukup lama.. hoah! menegangkan sangat!!

H-13 tida-tiba mendapat kabar, bahwa ada seniorku angkatan 2007 yang akan ikut ke korea juga dan ia akan menemaniku naik Airasia! huaaaa, Alhamdulillah... Ada temeeen...
Beryukur banget akhirnya ada temen di pesawat. Ah, setidaknya aku agak tenang. Terimakasih ya Rabb...  dan di H-7 aku mendapat kabar bahwa ada 1 orang lagi yang akan pergi bersama kami. Dan dia sudah biasa traveling ke luar negeri. Aaah, semakin tenang rasanya.. Alhamdulillah ya Rabb..

Aku pikir, keteganganku akan berhenti pada titik tadi. Tapi ternyata salah. H-4, aku baru manyadari bahwa ongkosku untuk di Korea kurang. Baru ada 2 juta dan itupun sebagian terpakai untuk persiapan berangkat. Ah, panik lagi. Cari-cari dana.. hubungin sana, hubungin sisni.. Dan kembali bertawakal. Dan  tiba-tiba saja banyak pihak yang memberiku bekal. Kakek dari bapak, Nenek dari Ibu, Teteh mentorku, dan ibu wali asramaku.. Ah, Ya Rabb... Terimakasih... Pertolongan itu datang lagi.. dari celah-celah yang tak terduga.. Dan Akhirnya, semuanya bisa aku atur. H-2, aku tukarkan uangku kedalam won. Jumlahnya jadi sekitar 340.000 won. Entah itu cukup tau tidak. Sebetulnya itu jumlah yang sangat pas menurut informasi dari banyak orang tentang biaya hidup di korea selama sekitar 8 hari.

Tanggal 3 Oktober. Akhirnya, untuk pertama kalinya aku pergi meninggalkan tanah air terncinta. Pergi ke sebuah negeri yang berada di utara indonesia. Cukup jauh, perjalanannya membuthkan waktu sekitar 7-8 jam.

Tanggal 4 Oktober, inilah twit pertamaku saat menginjakkan kaki di negara boys and girl band itu,
"Seoul Yo!!!"





Seandainya mimpi itu tak pernah ada, mungkin kenyataan ini juga belum terjadi sekarang.
Sungguh, memang benar kata Imam Syahid Hasan Al- Banna.
Kenyataan Hari ini adalah mimpi Hari Kemarin. Dan Kenyataan esok adalah Mimpi Hari ini.

Dan aku tak akan pernah ragu untuk terus bermimpi. 
Dan berusaha untuk merajutnya dalam kenyataan hari-hariku.



Go Abroad #2

"Naisuuuu!!! Ayo2 kita beli tiket pesawat!"
Saat itu rombongan kami mengejar paket perjalanan garuda, namun syaratnya harus berdua. Ketika akan membeli tiket, aku tersadar bahwa pasporku belum selesai! Libur lebaran, membuat waktu pembuatannya menjadi lebih lama. Maka aku harus menunda pemesanan tiketku hingga paspor selesai.

Rencana meleset. Temanku yang tadi akan menjadi pasanganku membeli tiket, ternyata diminta olleh orangtuanya untuk segera membeli tiket karena khawatir harganya akan semakin mahal jika ditunda. Akhirnya ia membeli tiket. Dan aku kehilangan partner tiketku.

Ah, ini membingungkan sekali. Saat biaya telah tersedia, paspor selesai, aku malah dihadapkan dengan tiket pesawat yang masih belum jelas. Aku mengonsultasikan masalah ini pada Kaprodi ku yang juga ikut dalam perjalanan ini. Dan akhirnya, beliau bilang aku bisa membeli tiket bersama anaknya. Alhamdulillah, kalau begitu saya coba cek ke kantor garuda, apakah paket promosinya masih ada, karena kabarnya tinggal sedikit kursinya. Saat itu, saya harus ikut silaturahim keluarga dulu sebelum ke kantor maskapai tersebut. Siang hari, saya baru ke kantor untuk menanyakan. Alhamdulillah masih ada. Paket promosinya masih tersedia. Segera saya telpon dosen kaprodi untuk mengabarkan ini dan mendaftarkan namaku dan nama anaknya. Sayang seribu sayang, ternyata baru saja ia membelikan tiket untuk anaknya, karena beliau khawatir paketnya sudah habis, dan kabar saya terlalu siang.

Duh, Ya Rabb.. Ada apa ini.. Mengapa begitu sulit? Apakah ini pertanda bahwa aku harus menunda kepergianku? Saat itu aku hanya bisa pasrah, sambil terus mencari teman yang bisa diajak dan mencari tiket murah menuju korea dengan maskapai lain.

Waktu berlalu, dan tak ada lagi yang berminat pergi ke korea. Tahu kah? angka 75%itu akhirnya merosot tajam. Pada akhirnya yang berangkat ke Korea hanya 4 orang dari angkatanku. Dan aku yang tidak punya uang ini menjadi salat satunya!

Hufth.. Bismillah.. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dengan maskapai lain yang lebih murah. It means, aku berpisah dengan rombongan, dan pergi sendiri menuju korea. Sesungguhnya, Ibu tidak mau aku mengambil keputusan ini. Tapi tak ada jalan lain, akhirnya beliaupun mengijinkan. Pasrah.. Sungguh pasrah.. Karena ini kali pertama aku ke luar negeri, bahkan ini kali pertama aku naik pesawat dan memasuki bandara..

Oh Rabb. Aku hanya bisa berdo'a semoga perjalananku ini lancar dan dimudakan...



Go Abroad #1

Rasanya waktu itu tak begitu sungguh-sungguh berucap,
"pokonya sebelum lulus S1 harus udah pernah ke luar negeri ah!"

Ya, itu hanya celotehan mimpi dari idealisme seorang anak manusia. Mimpi, karena faktanya kata-kata itu memang lebih realistis digolongkan ke dalam mimpi, bukan cita-cita. Bayangkan saja, aku siapa, punya uang dari mana? Jauh memang, tapi toh bermimpi bukanlah sebuah kesalahan.

3 Bulan yang lalu, tiba-tiba orang-orang disibukkan dengan pendaftaran tiket ke Korea. Ada sebuah Kongres Internasional ttg Tekstil, Kostum dan Budaya. Hampir 75 % dari teman-teman seangkatanku mendaftar. Menyetorkan nama lengkap dan nomor paspor mereka. Aku bertanya, berapa biaya kesana? 12 juta katanya minimal, dan itu dibayar masing-masing. Tanpa sponsor, tidak seperti teman-teman dari fakultas lain yang begitu gencar danus saat ada rencana studi banding ke luar negeri. Jujur, saat itu aku sakit hati. Sakit sekali, sampai mataku berkaca-kaca dan hampir meneteskannya. Jahat sekali, jika yang bisa belajar lebih hanyalah orang-orang berduit saja.

Suatu hari, seorang teman bertanya padaku perihal korea ini. Aku bilang, "Ga ikut, ga ada uang juga". Saat itu dia yang memutuskan untuk ikut membujukku. "Ayolah ikut aja, kita cari sponsor aja sendiri, aku juga ga ada uang, tapi sama beberapa yang lain, kita mau nyari sponsor. Hasri ikut aja.". Hmm.. Aku bingung, dilema sekali. Akhirnya aku pun meminta masukan pada orang-orang yang pernah kesana. Pada seniorku, pada wali asramaku, dan pada orang tuaku. Anehnya, semua bilang "Ikut aja!", termasuk orangtuaku. Ya, meski saat itu ibu bilang, "Ya sok aja, kalo ada uangnya mah.", dengan nada bercanda tanpa keyakinan.

Hmm, ikut ya. Kalau cari sponsor boleh deh! Akhirnya sejak saat itu aku meniatkan akan ikut ke korea. Entah bagaimana caranya.

Waktu berlalu, teman-temanku mulai terlupa dengan agenda korea ini. Kami mulai fokus pada tugas-tugas dan liburan. Karena saat itu menjelang libur semster sekaligus libur lebaran. Semua orang nyaris lupa. Tapi aku teringat, ke luar negeri butuh paspor dan itu pengerjaannya membutuhkan waktu. Maka aku memutuskan untuk membuat paspor, sebagai langkah awal ikhtiarku.

Proposal belum juga dibuat, padahal waktunya sudah tinggal 2 bulan lagi. Aku mulai khawatir, akhirnya aku mencoba untuk mencari sponsor sendiri dulu. Karena yang kutau, biasanya sponsor tidak bisa membiayai penuh, maka kita pasti teteap mengeluarkan uang pribadi. Sadar bahwa aku tak punya sedikitpun untuk itu, maka kupikir, penting mempersiapkan untukku dulu. Maka kucoba untuk mengajukannya ke kantor tempat aku magang saat ini.

Satu bulan berselang, namun kabar sponsor belum juga ada, pun dari kantor tempatku magang. Aku pasrah.  Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan langkah terakhir, menemui ketua YPM Salman untuk menceritakan perihal ini. Saat itu beliau memintaku untuk menemui beberapa divisi di Salman. Dan di hari itu juga, akhirnya aku mendapatkan kepastian akan ada yang membantuku membiyai perjalanan ke korea ini!!! Dengan syarat tentunya. But finally, AKU BISA PERGI!!!

Saat itu juga aku kabari temanku, "Dil, insyaallah asri ikut ke korea!!! :)"


Friday 12 October 2012

Could It Be Love? #3


Lalu, perasaan seperti apakah ini? 

Pada virus itu, dan pada makhluk baru ini. 
Could it be love? I don’t think so. It’s too fast to say that. Bisa jadi ini hanya reaksi kimia sesaat yang terjadi secara naluriah antara 2 makhluk dengan gendre yang berbeda. Perasaan wajar yang timbul karena insting fitrah makhluk hidup. Terlalu dini menyimpulkan ini perasaan cinta hanya karena perasaan itu saja. Virus itu mungkin memang sudah bersarang cukup lama. Tidak sehat memang, meski tak pernah terjadi aksi apapun atas perasaan ini. Pada makhluk baru ini? Hmm, apa ya mungkin ini hanya karena intensitas saja. Aku selalu takut menyimpulkan perasaan seperti ini sebetulnya. Terlalu kompleks dan membingungkan menurutku. Satu lagi, cukup mengganggu.


Cinta tumbuh saat ada begitu banyak hal baik dan buruk terjadi. Cinta tumbuh saat sepasang atau sekelompok orang memiliki cita-cita bersama dan mencoba mewujudkannya bersama. Melalui banyak rintangan, cobaan juga kebahagiaan. Sebuah proses yang membawa orang-orang yang terlibat di dalamnya mengalami banyak pengalaman, melakukan banyak perubahan, dan menemukan banyak kecocokan dan kenyamanan. Semuanya bersama, dan ketika itu terjadi mungkin itu bisa disebut cinta. Karena semuanya telah teruji. Tapi ini masih mungkin, terlebih ini hanya asumsi seorang anak manusia yang tak mengerti apapun tentang cinta. Haha.. 

Hanya yang kutahu, cinta adalah proses penumbuhkan, merawat, menjaga, dan mengembangkan. Harus ada proses move on antara orang-orang yang terlibat didalamnya. That’s why, there is no relationship without married in Islam. Because love could be grow with the official relationship after we got married, it could be happened if everything have been Halal, karena akhirnya Allahlah yang menumbuhkan perasaan itu. Bukan hanya sekedar menumbuhkan, namun menjadikannya berpahala dan menyempurnakan ibadah-ibadah yang lainnya. Dengan izin Allah. J

Could It Be Love? #2

...
5 taun berlalu, rupanya ia masih bersarang. 
Entah karena perasaan absurd tadi, ataukah memang tidak ada objek yang lain. Haha.. 
Untuk opsi kedua ini rasanya perlu diantisipasi juga. Dan itu sebenarnya yang ingin kuceritakan disini.

Beberapa minggu terakhir ini rasanya ada sesuatu yang mampir. Aku tak bisa menyebutnya virus, hanya saja ini cukup mengganggu. Sebuah makhluk baru yang kutemukan di kampus ini. Bukan di tempatku yang dulu. Secara personal dia ternyata memiliki banyak kemiripan dengan virus itu. Permukaan luarnya ternyata berbeda dengan isinya. Membuatnya menjadi sosok yang cukup misterius untukku. Seperti biasa, rasa penasaran selalu berhasil membuat adrenalinku tertantang dan menjadi lebih dinamis. Haha.. Dan dalam setahun belakangan ini takdir membuat kami menjadi lebih sering berkordinasi, sedikit banyak aku mulai mengetahui banyak sisi tak nampak darinya yang tidak diketahui oranglain (mungkin). Tanpa kusadari, akhir-akhir ini aku menjadi lebih sering menceritakannya. Pada siapapun, adikku, ibu atau teman-teman. Dan ini hampir mirip dengan gejala munculnya virus itu, hanya saja kali ini aku lebih cepat menyadarinya, kurang lebih 1 bulan mungkin, tidak satu tahun. 

Beberapa waktu lalu, keadaan memaksa kami berada dalam posisi yang cukup dekat secara fisik dalam rentang waktu yang cukup lama. Ah, mengapa itu begitu menyiksa? Dadaku cukup sesak saat itu. Seperti tidak tahu harus berbuat apa. Aneh sekali rasanya, harusnya sih ya biasa saja. Aku tahu ia ada di belakangku. Sekali lagi, ini terpaksa. Dan situasi menjadi semakin parah, aku tahu jarak kami menjadi semakin dekat. Dekat sekali mungkin. Bahkan jika saja aku membalikkan badan, mungkin aku hanya bisa melihat kaos dan jaketnya saja yang tepat ada di depan mataku. Aaaargh, gila! Ini gila. Jika kau tahu, tanganku gemetaran saat itu. Haha, norak kali.. Tapi jujur, dalam kondisi itu, justru aku ingin dia tetap disana. You know what? It’s too crowded. Aku sendiri khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Copet, pelecehan, atau apalah. Setidaknya kehadiranya disana, membuatku sedikit ada teman, emh.. atau mungkin merasa sedikit aman. Ah, sial! Oke, kali itu memang aku merasa dijaga dan dilindungi. Tapi mengapa harus dia lagi??? Percayalah, aku yang terlebih dulu masuk, dan yang lain menyusul. Saat itu ada 5 orang yang lain. Mengapa formasinya mesti terpisah menjadi 4-2? Aku pun tak tahu mengapa dia ada di belakangku. Berdua itu terlalu menyiksa untuk makhluk yang tak halal. Terlalu banyak pikiran yang tak perlu menjadi muncul. Terlalu banyak perasaan tak penting yang jadi timbul. Dan aku semakin paham mengapa Tuhanku memberikan banyak aturan untuk makhluk-makhluk yang tak halal ini. Ah, betapa Ia begitu menjaga makhluknya. Dan betapa Ia membuat sistem alam dengan begitu sinergis.

Waktu menyelamatkanku. Akhirnya Aku bisa keluar dari situasi yang tak bersahabat itu. Situasi yang tak bersahabat dengan hatiku lebih tepatnya. Keluar, namun efeknya masih terasa hingga kini. Ya Allah, ini kali pertama aku dihadapkan pada situasi seperti itu. Menyiksa. Sungguh menyiksa. Tiba-tiba kemampuan otak kanan ini mengembara jauh. Aah, sudah hentikan. Semoga kekacauan ini hanya terjadi padaku saja. Semoga dia baik-baik saja. Semoga dia tak bisa menangkap sinyal aneh dariku. Semoga dia tetap bisa menjaga segala hal  baik yang ada padanya. 

So?

...

Could it be love? #1


Kali ini temanya galau.. Haha, sekali-kali tak apa lah yaa..

For the truth, sudah 5 tahun ini ada sebuah makhluk yang menjadi virus bagi program di otak dan hati ini. Hehe.. Emh, kenyataan ini sebetulnya baru disadari 4 tahun yang lalu. Saat semuanya telah lenyap dan menghilang. Entah ini virus apa sebetulnya, aku sendiri kurang begitu paham. Yang pasti ada sebuah perasaan nano-nano yang muncul; penyesalan, penasaran, kecewa, bahagia, terharu, dan mungkin rindu. Haha, geli ya. Untuk orang melankolis sepertiku perasaan ini cukup menyiksa, karena hobi orang melankolis adalah mendramatisir. Dan mungkin yang membuatnya menjadi lebih menyiksa adalah karena aku tahu aturannya. Aku tahu dan sadar akan aturan yang dibuat oleh Tuhanku tentang ini. No excuse untuk interaksi berlebihan seperti apapun antar dua makhluk yang berbeda ini. Maka aku harus tahu diri dan membatasi diri. Menjaga hati meski jujur, angan-anganku mungkin sudah terbang kesana-kemari.
Jarak dan waktu rupanya tak cukup untuk bisa mengubur perasaan nano-nano ini. Terkadang, ia justru menjadi pupuknya. Saat rasa penasaran mulai muncul, pertanyaan-pertanyan tidak pentingpun menjadi pupuk yang manjur  untuk membuahkan rasa rindu. Yang kutahu, perasaan ini biasanya terlupakan saat aktivitasku mulai memuncak.

Tanpa terasa, 5 tahun berlalu. Aku bertumbuh dan mulai mengenal dunia yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Dan seorang makhluk itu pun tumbuh menjadi sosok yang luar biasa. Ya, dia luar biasa sekali sekarang. Jika dibandingkan denganku, mungkin sebanding dengan jarak millimeter antara kampusku dengan kampusnya. Jauh sekali. Tapi sialnya, virus itu belum juga hilang. Entah, ini rasanya seperti ketika aku menunggu untuk kuliah 4 tahun yang lalu. Saat aku tidak lulus SNMPTN, dan memutuskan untuk menunggu dan mencoba lagi di tahun berikutnya. Ada perasaan khawatir dan was-was akan cita-citaku yang begitu neko-neko ingin berkuliah di ITB, di Fakultas yang menurut kebanyakan orang belum jelas prospek kerjanya, yang menurut orang menakutkan lingkungannya, dan mahal kuliahnya. Ada perasaan takut yang luar biasa besar, takut tidak diterima, takut bukan rejekinya dan takut jika rejekiku di tempat yang lain. Disatu sisi, ada sebuah kerinduan dan harapan. Setiap melewati ganeca, ada sebuah keyakinan yang muncul dari palung hati yang paling dasar, kayanya sih bisa, kayanya keterima deh, kayanya bakal kuliah di ITB deh. Ada sebuah janji yang entah ditawarkan oleh siapa. Janji tentang impian dan cita-cita. Janji akan harapan masa depan. Yah, perasaan-perasaan absurd semacam itulah. Bedanya, keyakinan yang pertama telah terbukti. ITB memang menjadi tempatku sekarang. Tapi keyakinan yang satu lagi, entah endingnya seperti apa. Membingungkan dan mengganggu.


5 taun berlalu, rupanya ia masih bersarang. Entah karena perasan absurd tadi, ataukan memang tidak ada objek yang lain. Haha...

Followers