Sunday 6 March 2022

Memaafkan

 Siang tadi aku marah besar kepada si bujang. Sudah sejak pagi kutahan untuk tetap menjaga ketenangan. Padahal dia baru saja sampai setelah bermalam di rumah Uti tiga hari dua malam, tapi baru saja bertemu tingkahnya sudah banyak macamnya. Sebentar merengek, sebentar berteriak, sebentar memaksa, sebentar menangis, dan lainnya. 

Awalnya aku masih bisa menarik nafas agar lebih tenang dalam menyikapinya. Tapi akhirnya di siang hari pertahanan itu runtuh, saat semuanya menuntut perhatian. Dia yang merengek ingin ikut ayahnya, adiknya yang pup, pesan watsap yang menumpuk, persiapan-persiapan untuk tamu yang sebentar lagi tiba, dan yaa mungkin badan yang lelah.

Aku marah, nada suaraku meninggi, tanganku bergetar, mataku melotot. Bersyukur sekali tangan ini tidak sampai menyentuh tubuh mungil itu dan mulut ini tak sampai mengeluarkan kata-kata yang buruk baginya. Tapi dia menangis sejadi-jadinya melihat perubahan sikapku yang drastis itu. Matanya ketakutan. Tapi raganya terus mendekatiku, memohon-mohon katanya, aku sudah baik. Sayangnya diri ini terlanjur tidak stabil. Dan nafasku mulai berat, sesak, kepalaku terasa panas dan pening, jantungku berdegup kencang, dan tubuhku melemas. Mungkin ini yang dinamakan naik darah.

Akhirnya setelah membersihkan adiknya, aku pergi ke kamar belakang untuk mengASIhi si bungsu. Pintu kamar kukunci. Awalnya aku masih mendengar tangisan itu dan beberapa kali ada yang mengetuk pintu. Tapi lama kelamaan tak ada suara yang terdengar. Baguslah pikirku. Aku sedang butuh waktu.

Sambil mengASIhi aku berusaha melepaskan tubuhku, berusaha relaks, memejamkan mata tapi tak bisa tidur hanya membuat kepala semakin pening. Akhirnya kupalingkan wajahku ke arah jendela. Terlihat hijau pohon-pohon dan suara air sungai di sebelah rumah. Tak terasa badanku menjadi lebih ringan. Nafasku mulai teratur, mataku sudah mulai perih. Akhirnya aku tertidur. 

Entah seberapa lama. Tapi aku sempat terbangun, dan memutuskan untuk melanjutkan tidur lagi. Di bangun yang entah keberapa kalinya, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar. Melihat situasi di luar yang senyap tak ada suara tangisan dan yang lainnya. Kucari mereka berdua yang ternyata sudah tertidur pulas di kamar depan. Kuputuskan kembali ke kamar belakang, untuk tidur lagi. Tapi pintu tak dikunci.

Sore harinya, semua membaik saat tamu-tamu sudah datang. Seakan tidak terjadi drama apapun sebelumnya. Dan saat menjelang maghrib, aku memandikan mereka. Saat tiba giliran si bujang, sambil menyabuninya aku mencoba membuka obrolan,

Aku : Mas, maaf ya tadi siang Bunda marah-marah. 

Dia mendengarkanku, melihat mataku, dan sedetik kemudian dia jawab.

Bujang : Iya.. Aku juga minta maaf ya, Bunda.. Tadi aku ngulang-ngulang minta ikut ke Ayah. 

Aku menatapnya dengan menahan air mata yang ingin keluar.

Dia masih akan berusia 4 tahun bulan ini, tapi dia bisa mengerti alasan Bundanya marah besar dan dengan begitu lapang dada meminta maaf balik atas perbuatannya yang membuat Bundanya marah. 

Aku bertanya, apakah ini sikap yang biasa saja untuk anak seusia balita?? 

Aku rasa tidak?!

Anak ini ajaib! Bagaimana mungkin seorang anak kecil meminta maaf atas tingkah kekanak-kanakannya?! 

Ah, entahlah!

Saat ini isi kepalaku terlaku penuh untuk menelaahnya.

Tapi yang pasti, aku sedang diajari banyak hal oleh anak balitaku tentang meminta maaf dan memaafkan.

Memaafkan itu ringan sajaa. Maafkan saja. Karena mungkin di saat yang bersamaan, kita juga melakukan kesalahan. Jika ia, jangan sungkan untuk meminta maaf juga. 

Followers