Monday 31 January 2022

Surat Untuk Ibuk

 ​Bismillah..

Assalamu’alaikum, Ibuk.. semoga selalu Allah berikan kesehatan dan keberkahan pada setiap detik waktu yang dilalui. Mungkin Ibuk gak akan menemukan surat ini, meskipun begitu semoga dengan ditulisnya surat ini akan membuat hati ini menjadi lebih ringan.


Mungkin malam-malam di dua minggu terakhir ini menjadi malam yang penuh khayalan untukmu. Khayalan akan kesendirian, akan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, atau mungkin khayalan tentang ‘andaikan saja’ yang banyak jumlahnya. Tapi mungkin juga tidak begitu, dengan karaktermu yang kuat, kokoh dan tak ambil pusing, bisa jadi juga malam-malam ini berjalan seperti biasanya saja. 


Ibuk, dua hari lagi kami akan pindah rumah. Meninggalkanmu disini sendirian, meski setiap minggu mas masih akan pulang selama tiga hari, dan di sekeliling rumah juga ada rumah Ibumu dan saudara-saudara yang juga banyak jumlahnya. Tapi mungkin dan pasti semuanya akan berbeda. Tidak ada suara berisik dari tiga cucu-cucumu yang masih kanak-kanak ini. Tidak ada rumah berantakan dengan mainan yang memenuhi seluruh lantai mulai dari ruang tamu hingga dapur. Tak ada lagi baju-baju yang dibiarkan saja dilantai setelah dicopot oleh anak-anak karena kegerahan. Dan tidak ada lagi tangisan perselisihan, rebutan mainan, atau kecelakaan ringan di dalam rumah. 


Ibuk, maafkan kami (aku) yang pada akhirnya memilih keputusan ini. Sungguh tak pernah ada keinginan sedikitpun untuk meninggalkanmu sendirian, terlebih setelah Bapak meninggal. Berat kami membayangkan Ibuk harus menjalani hari-hari yang sepi di rumah yang seluas itu. Karena itulah, dulu, kami tidak banyak berpikir untuk langsung pulang, meninggalkan yang telah kami rencanakan, untuk menemanimu di rumah. Tapi kini nyatanya kami malah memutuskan untuk kembali pergi, bahkan di saat Mbak baru setengah tahun meninggalkan kita, menyusul Bapak. 


Ibuk, sejujurnya aku merasa gagal atas keputusan ini. Aku yang sejak sebelum menikah berprinsip untuk tidak ingin membuat pilihan untuk suami, antara aku atau ibunya. Aku yang selama ini berusaha untuk tak banyak tanya, tak banyak kompromi, tak akan menolak, sesuatu yang akan mas lakukan untuk orangtuanya. Aku yang tak ingin banyak berpikir tentang diriku sendiri, tentang kenyamananku, tentang keinginanku, jika telah bertemu dengan keinginan dan kenyamananmu. Tapi nyatanya saat ini aku menodai segala prinsip yang kubangun sendiri. Aku lemah tak berdaya, tak berkutik, melihat diriku yang patah. Aku menyerah untuk terus melangkah, saat kusadari ternyata kaki ini bahkan tak mampu untuk bergerak. Aku pasrah, pada apa-apa yang selama ini kurasa telah kuperjuangkan. Aku telah gagal, buk.. 


Awalnya aku tak ingin mengakui kelemahan ini. Rasanya ingin kututupi segala ketidakberdayaan ini. Aku ingin tetap disini, karena kutahu dirimulah satu2nya pintu surga yang masih Allah hadirkan untuk mas di dunia ini. Dan aku yakin tak akan pernah ada yang sia-sia dari setiap detik waktu yang kami lewati untuk menemanimu..


Tapi buk, aku patah lebih parah, saat kusadari bahwa ketidakberdayaan ini berdampak pada anak-anak kecil yang tak berdosa. Patahku membuat mereka kehilangan aku. Patahku membuat mereka juga tidak bisa berdiri karena tak ada yang menopang. Patahku membuat mereka menjadi layu, karena mereka juga terluka atas apa yang telah kulakukan.


 Di titik ini aku tersadar bahwa aku tidak boleh membiarkan anak-anak ini menjadi tidak tumbuh paripurna, hanya karena aku sebagai penopangnya menyerah dengan membiarkan diri ini tetap patah. Di titik ini aku terbangun, bahwa aku punya kendali untuk menyembuhkan patah ini. Aku harus sembuh, aku harus bangkit lagi, agar mereka mendapatkan hak untuk ditumbuhkan juga. Tapi aku butuh waktu.. Aku butuh belajar lebih.. karena aku telah terlanjur patah..


Ibuk, maafkan kami (aku) yang telah memilih keputusan ini. Dan dengan lebih kurang ajarnya lagi, aku berharap semoga Ibuk ridho atas ini. Atau setidaknya semoga Ibuk tetap ridho kepada mas. 


Ibuk, maafkan kondisiku saat ini. Mohon doakan semoga ini semua menjadi pembelajaran yang berharga, untuk kita semua. Semoga kami tetap bisa berbakti penuh kepadamu meski kini kita tak seatap lagi. Semoga Ibuk ridho kepada kami.. 


Salam sayang dari yang sangat sulit terungkapkan. Dari anakmu yang baru bertemu 7 tahun. 

Monday 24 January 2022

Hello, me!

Bismillah..
Masyaallah tahun 2022. Tulisan pertama di tahun ini saya dedikasikan untuk aktifasi keanggotaan di komunitas Mamah Gajah Ngeblog (MGN) tantangan Januari. Sebelumnya saya kenalin dulu nih, MGN itu adalah subgrup dari komunitas ITB Motherhood khusus blogging. MGN berisi ibu-ibu alumni ITB yang memiliki kegemaran menulis di blog. Sebetulnya sih saya ngisi formulir keanggotaannya sudah sejak syawal tahun lalu, tapi baru kali ini bisa ikutan tantangannya. Semoga dengan submit tantangan Bulan Januari menjadi nyawa baru untuk hidupnya kembali blog ini setelah lama mati suri.

Tema tantangan bulan ini adalah tentang dirimu, mamah gajah. Tema yang bikin saya agak baper berkaca-kaca karena jujur aja, ini pas banget dengan momen ingin "memanggil" kembali si Aku sebagai bagian dari awal proses healing. Semoga juga bisa menjadi semangat baru untuk mengawali tahun 2022 dan tambahan kekuatan untuk proses hijrah yang sebentar lagi akan saya tapaki. Bismillah..

...
Gadis kecil itu bernama Hasri, ia si anak pertama sekaligus cucu pertama dari keluarga ibunya. Bisa ditebak seperti apa euphoria anggota keluarga saat ia terlahir ke dunia. Bapak, Ibu, Emak, Mbah, Mang, Bibi, semuanya seakan gak pake mikir kalau mau ngasih apapun sama anak ini. Meski lahir dari keluarga yang sangat sederhana tapi masa kecilnya dipenuhi ungkapan sayang dari banyak orang. Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi anak yang nice. Anak baik-baik, gak neko-neko, penurut dan gampang terenyuh. Menangis saat melihat pengemis atau melihat musibah atau bahkan saat menonton sinetron adalah hal mudah baginya. Yaaa, sebetulnya lebih sering dibilang cengeng sih.. iya, itu saya, cengeng banget sih memang.. 

Sikap alamiah saya yang cenderung diam, pasif dan gak banyak berontak membuat saya dinilai sebagai anak yang baik, pemalu, penurut sekaligus penakut. Saya lebih suka berperan sebagai follower dan di belakang layar. Saya anti tampil, terlalu mengerikan rasanya. Sampai pernah saat kelas tiga SD saya dipanggil ke depan oleh guru wali kelas karena mendapatkan peringkat tiga. Bukannya girang dan langsung maju, saya malah keringat dingin dan pandangan langsung buram karena berkaca-kaca ingin menangis. Bukan, bukan karena terharu tapi karena takut harus maju ke depan kelas dan menyaksikan puluhan pasang mata memandang ke arah saya. Sungguh mengerikan. Saya juga cenderung anak yang rendah diri. Saya meyakini kalau saya ini anak yang biasa-biasa aja. Gak cantik, gak kaya, gak pinter, gak punya bakat apapun, orangtua saya juga bukan siapa-siapa. Dan itu semua juga bukan sebuah masalah untuk saya, gak apa-apa memang aku orang biasa aja. 

Tapi ternyata ada banyak perubahan seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup yang saya rasakan, terutama sejak masuk ke SMP 2 Bandung, SMA 5 Bandung dan kemudian lanjut ke ITB. Dan di masa-masa itu semua saya rasakan seperti bekal dan pembelajaran berharga untuk saya menjalani kehidupan sekarang sampai di awal usia kepala tiga. 

Diizinkan oleh Allah untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah favorite di kota Bandung ini adalah hal yang sangat saya syukuri. Bertemu dengan banyak sekali teman-teman yang pintar bahkan jenius, berteman dengan orang-orang yang secara status ekonomi jauuh sekali diatas keluarga kami, bertemu dengan para guru dan pengajar terbaik yang tentu memiliki kualitas yang tidak biasa, betul-betul membuka pandangan dan pola pikir saya tentang diri sendiri dan juga dalam memaknai hidup ini. 

Di setiap jenjang pendidikan formal tadi, saya seperti sedang menapaki diri saya satu per satu.
Di SMP 2 Bandung, saya dipertemukan dengan kakak mentor dan teman-teman ekskul rohis di KRM Miftahul Huda. Disini saya menemukan diri saya, menemukan cita-cita yang ingin saya gapai, bahkan "menemukan" Tuhan yang selama ini saya sembah. Melalui mentoring pekanan, kajian-kajian dengan rohis dari sekolah lain, kegiatan pecinta alam, semua itu mengantarkan saya bertemu dengan diri saya yang lain. Saya mulai berani berbicara di depan umum, berani berkontribusi dalam kepanitiaan, bahkan  sampai akhirnya saya bisa menjadi seorang kakak mentor yang memegang beberapa kelompok mentoring. Disana saya menemukan ternyata diri yang pemalu ini bisa menjadi begitu bersemangat dalam berbagi cerita dan bicara banyak hal di circle yang kecil, dalam obrolan yang dekat dan hangat, berbagi cerita dan saling menyemangati dalam hal yang baik. Disini saya seperti baru memasuki gerbang ke dalam diri saya sendiri.

SMA 5 Bandung, sudah bukan rahasia lagi kalau sekolah ini tempatnya anak-anak borjuis. Jalan Bali yang ada di depan gerbang sekolah kami sudah seperti showroom mobil, katanya, saking banyaknya siswa yang membawa mobil ke sekolah. Saya ingat sekali dulu ada teman seangkatan saya yang membawa mobil BMW 2 pintu ke sekolah dengan plat nomor namanya sendiri. Beuh, canggih banget dulu itu rasanya buat saya yang ke sekolah diantar sepeda motor cina punya bapak. Tapi justru disinilah saya belajar banyak tentang pergaulan yang sangat baru bagi saya. Saya si rendah diri ini, mulai diperlihatkan oleh Allah sisi lain kehidupan yang jauh dari keluarga saya. Punya teman anak pejabat kota, pejabat BUMN, pengusaha tajir melintir, dan lain-lain. Dan satu hal yang saya syukuri dan saya apresiasi kepada diri sendiri adalah si rendah hati ini tidak pernah iri pada milik orang lain. Melihat teman-teman yang begitu royal tidak membuat saya berkeinginan untuk mengikuti dengan cara yang tidak baik, seperti memaksa minta macam-macam ke orangtua atau naudzubillah sampai mencuri demi ingin punya uang lebih dan mengimbangi teman yang lain. Saya tetap santai saja dengan jajan seadanya, baju seragam putih yang hanya 2 pasang untuk bergantian dipakai, sepatu yang sudah bocor bagian tumitnya, bahkan saya pernah berjualan nasi kuning dan nasi uduk dagangan ibu saya di rumah untuk teman-teman di kelas. Untuk hal ini, rasanya saya ingiiiin sekali memeluk erat diri saya atas segala kebersahajaan dan keberterimaan atas kondisi diri. Ya Rabb, terima kasih telah memberikan hati yang lembut tapi sekaligus kuat. 

ITB, kampus gajah impian yang tak terbayangkan. Pengalaman di ITB adalah antara pengalaman hitam dan putih. Ada banyak kakak rohis yang khawatir saat mendengar kabar saya masuk ITB Fakultas Seni Rupa dan Desain. Hahaha. Konon kabarnya fakultas seni rupa terkenal dengan lingkungannya yang "hitam", mulai dari mahasiswanya sampai gedungnya yang menyeramkan. Hihiihi. Apalahi duluuu katanya ospeknya itu ada yang disuruh minum darah. Hahaha tapi tentang ini saya belum pernah mengecek kebenarannya. Intinya dulu saya langsung dipesani; "Hati-hati ya, Has", gitu katanya. Tapi yang pasti anak SR sih udah terkenal yang paling nyentrik. Dan bener aja, baru aja mau ospek kampus, udah disuruh berulah aja tu kita. Jadi dulu, pas sebelum OSKM ITB dimulai, kita maba FSRD ni dsuruh kumpul sama senior. Katanya disuruh nentuin atribut khusus yang dipakai sama maba anak SR pas OSKM nanti, dan waktu itu angkatan kami pakai tali pocong doooong. Jadi setelan kami anak SR pas OSKM itu pakai baju SMA plus Jamal plus ngiketin tali putih di lingkaran wajah kami. Malu-maluin banget gak siiii.. Tapi tahu gak sih perasaan saya waktu itu??? Saya malah ngerasa bangga dan asyik aja gitu dengan segala ke-nyentrikan kami. Hahaha, geli juga kalau diinget-inget lagi sekarang. Tapi disinilah saya menemukan diri saya yang lain. Ternyata Hasri si pemalu ini punya keberanian juga ya untuk malu-maluin. Haha  Maksudnya disini saya seperti diajarkan untuk it’s oke to be different. Gak masalah ko kalau kita beda, selama nilai yang kita pegang kita yakini baik dan gak mengganggu orang lain. Terlebih memang karena di SR juga orang-orang lebih bebas dan nunjukin gitu ya, mulai dari style fashion sampai keyakinan, hehehe.. jadinya justru bikin saya belajar juga bagaimana supaya kita tu go ahead aja sama diri kita dan bertanggung jawab dengan pilihan itu. Aseekk..

Di kampus anak SR, balik kuliah jadi marbot masjid. Hehehe. Iya bener. Selama di ITB sejak TPB sampai wisuda saya tinggal di Asrama Salman yang mana dia asramanya ada di kompleks Masjid Salman ITB. Tinggal di masjid, setiap pekan dapet giliran takmir masjid jadi penjaga tempat mukena, rapihin shaf shalat jamaah putri, sampai bersihin selasar ijo waktu itu. Inilah kenapa tadi di awal saya bilang antara hitam dan putih. Hahaha. Tapi justru di titik inilah Allah perluas pandangan saya, bahwa tidak selamanya yang dipandang “hitam” akan penuh dengan keburukan dan tidak selamanya yang dipandang “putih” akan bersih dari kesalahan. Selama kita masih di dunia, peluang benar dan salah itu akan selalu ada dimanapun oleh siapapun manusianya. Dengan melihat dan menjalani dua sisi ini, justru malah memperkaya wawasan, cara pandang, pergaulan, pola pikir, dan pengalaman saya. Dan membuat saja jadi gak mudak melabeli sesuatu hanya karena tampilan luarnya saja. Banyak sekali pemikiran teman-teman di seni rupa yang melengkapi frame berpikir saya yang selama ini lebih banyak bergaul di rohis. Saya juga belajar untuk bisa lebih luwes dalam bergaul dan menyampaikan ide serta menerima ide orang lain. Dan lingkungan masjid jadi membuat saya memiliki "rem" tersendiri saat ada keinginan untuk melenceng-melenceng. hehehe

Masyaallah pokoknya, rasanya setiap step tadi adalah tangga saya untuk mengenal diri saya lebih dalam lagi. Dan saat titel mamah gajah ini hadir di kehidupan saya yang memilih sebagai Ibu Rumah Tangga, sering banget dikatain, "Sayang banget ih, lulusan ITB tapi di rumah doang" gitu.. Awal-awal sempet gerah juga sih ya dikatain gitu. Tapi lama-lama biasa aja. Biarin mereka yang ngatain, karena saya sendiri yang ngerasain betapa gak pernah menyesalnya saya pernah menjadi bagian dari kampus gajah, apapun peran yang sedang saya jalani saat ini. Karena memang pengalaman menempuh pendidikan di ITB itu gak cuman sekedar ilmu SKSnya aja tapi lebih mahal dari itu. Pernah sekolah di ITB membuat saya punya mata dan jendela yang semaaakin luas lagi. Ilmu keprofesian tentunya, pertemanan, persahabatan, lingkungan yang menumbuhkan dari banyak aspek, terlebih koneksi kealumnian yang bahkan sampai ke bidang-bidang diluar jurusan dan fakutas yang ada di ITB sekalipun, seperti MGN ini. #hug. 

Bersyukur sekali sudah menjadi bagian dari ITB, bersyukur sekali pernah merasakan berjuang disana dan bersyukur sekali karenanya saya memiliki circle menumbuhkan yang gak ada habisnya. 






Followers