Thursday 19 June 2014

Menikah adalah Sekolah Kehidupan

Menikah. Hihihi.. 
Dulu waktu jaman SMA dan kuliah tingkat-tingkat awal, menikah itu masih menjadi sesuatu yang memberikan kesan 'pembebasan' dan romantisme cinta dua insan. Hahaha, geli sendiri kalau inget itu. Ya harap maklum, sebagai remaja biasa yang tumbuh dengan segala kewajaran hasrat remaja seusianya, tapi memegang prinsip untuk gak pacaran, ya menikah itu menjadi sebuah impian yang akan membebaskan segala rasa ingin yang selama ini dikekang. Jamannya suka-sukaan sama laki-laki yang dianggap keren. Jamannya sok-sokan gak suka digombalin padahal kalau ada laki-laki yang ngasih perhatian lebih perasaan jujurnya adalah seneng bukan main. Jamannya nangis-nangisan kalau ada laki-laki yang suka, karena merasa telah menjadi 'pengganggu' bagi kaum lelaki. Haha.. masa-masa itu. Memang labil sih, tapi itu fitrah naluriah kurasa. Wajar kalau merasa suka sama lawan jenis dan ingin mendapatkan sambutan yang sama dari yang disuka. Yaa, dulu sih sesederhana itu membayangkan tentang pernikahan. Pokoknya seneng dan romantis. Dan jadilah muncul cita-cita ingin menikah di umur 23 tahun. Hahaha

Time goes by, di jaman kuliah pertengahan, saat usia mulai mendekati umur 23, definisi tentang menikah mulai naik level. Haha. Ada sebuah kebutuhan untuk ingin 'dilengkapi'. Kondisi keluarga, kondisi lingkungan sekitar, dan kondisi-kondisi lainnya membuat saya merasa butuh seseorang yang 'menguatkan' dalam banyak kondisi. Dan biasanya sih ini dialami oleh anak-anak tingkat tiga, galau nikah. Padahal kalau dipikir sekarang ya, ngapain ya dulu gitu-gituan. haha. berasa alay banget. Tapi ya jujur, kebutuhan itu memang ada, merasa ingin dilengkapi, merasa ingin ada teman berbagi. Mungkin karena memang dinamika hidupnya mulai 'seru' kali ya. Gak lagi masalah tugas yang belum selesai, uang jajan yang kurang atau nilai IP yang turun, tapi mulai muncul ujian-ujian hidup yang dirasa ada benang merah yang harus diselesaikan diantara ujian-ujian yang ada. Kok jadi berat ya bahasanya? Haha.. mungkin saya aja kali ya yang mikirnya ketuaan, tapi itu seriusan yang saya pikirin di tingkat tiga pas jaman kuliah. Sejak SMP saya membantu orangtua untuk bisa rutin membayar SPP hingga kuliah dengan biaya sendiri mulai dari pendaftaran awal, bayar semesteran, biaya tugas studio tiap semester, hingga wisuda. Jadi ya memang sudah terbiasa merasa dilibatkan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga di rumah. Itulah sebabnya saya merasa butuh dilengkapi, karena memang yang dipikirkan mulai bercabang, bukan lagi tentang urusan diri sendiri.

Tingkat akhir perkuliahan, justru saya lupa cita-cita menikah itu. Karena sibuk mikirin TA. haha. Tapi di saat ga mikirin itulah, tetiba muncul sosok 'aneh' di penghujung usia 22 saya. haha. Dialah yang kemudian mengembalikan kegalauan saya tentang menikah. Hehe. Dan saat inilah kemudian menikah itu tidak lagi hanya memiliki definisi 'pembebasan' dan 'dilengkapi' tapi ada definisi baru yang didapat, ada dua inti pokok yang saya dapat waktu itu, tentang 'penyelamatan' dan 'penyempurnaan keimanan'. Duh berat banget gini bahasanya. Tapi lagi-lagi itu seriusan.

Tentang penyelamatan, mungkin ini ada kaitannya sama definisi pembebesan waktu jaman SMA. Hanya saja yang ini mungkin lebih serius tingkatnya, jadi bahasanya berubah jadi penyelamatan. Tapi sebetulnya kata 'penyelamatan' ini baru bener-bener saya resapi belakangan ini. Laki-laki dan perempuan fitrahnya pasti terikat sama yang namanya kutub ketertarikan. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman hidup, ketertarikan ini berubah kebutuhannya dari sekedar suka dan seneng kalau barengan ke tahap ingin melindungi, ingin bisa bertumbuh bareng, sukses bareng sampai pada keinginan untuk saling 'melengkapi' dan 'memuaskan' satu sama lain. Dua kata terakhir ini memiliki arti yang luas yang kaitannya dengan perasaan atau kebutuhan batin dan kaitannya dengan kebutuhan fisik (skinship). Kebutuhan batin ini mungkin ada hubungannya sama chemistry kali ya. Entah kenapa, ada sebuah sinyal aneh yang terdeteksi kalau sama pasangan kita. Entah itu perasaan bahagia yang ingin dibagi ataupun perasaan gelisah yang butuh solusi. Biasanya ini akan terconnect dan ketika kebutuhan masing-masing bisa dipenuhi, kita akan mendapatkan kebahagiaan batin. Sedangkan tentang kebutuhan fisik, saya baru ngeh belakangan ini. Saya baru sadar ternyata kebutuhan pemenuhan fisik itu akan selalu meningkat levelnya, misalnya awalnya sentuhan, setelah itu  akan muncul keinginan untuk pegangan tangan. Setelah bisa pengangan tangan, akan naik level lagi menjadi ingin merangkul, begitu seterusnya dan akan terus meningkat kebutuhannya. Dan saya baru sadar, ternyata skinship itu memang bisa memberikan kebahagiaan batin tanpa kita harus berkata. Misalnya ketika marah atau sedih, hanya dengan sentuhan dan pelukan, apalagi dari pasangan kita, itu bisa memberikan efek menenangkan yang sangat ampuh, tanpa kata-kata. Dan bayangkan saja jika tidak dibingkai dalam hubungan yang halal dalam penikahan, kebutuhan fisik ini akan menjadi sangat menyiksa. Trust me it works. Kebutuhannya terus meningkat, sedangkan secara norma dan agama, kita belum bisa seperti itu. Ya, kecuali orang-orang yang udah apatis sama aturan-aturan semacam ini. Bahayanya, semakin banyak orang-orang yang apatis sama aturan-aturan tentang lawan jenis ini, akan semakin banyak juga kasus-kasus moral di sekitar kita. Percaya deh. Penyimpangan-penyimpangan seksual yang ada di sekitar kita, bermula dari aturan pergaulan lawan jenis ini. Itulah kenapa saya bilang, menikah itu penyelamatan.

Penyempurna keimanan, ini juga yang bener-bener baru saya sadari waktu menjalani prosesnya. Duh, kalau diceritain panjang banget. Mulai dari kita yang baru kenal 10 hari di Padang, dua bulan kemudian dia dateng melamar, sebelumnya saya terjebak nostalgia sampai lima tahun (haha), dia anak bungsu dan kakak-kakaknya belum nikah, dan banyak lagi lainnya. Kalau bukan karena keimanan, waktu sesedikit itu akan sekuat apa sih mampu meyakinkan dua manusia untuk membangun perahu di pelayaran yang luas dan misterius nanti. Kalau bukan karena iman, kesan 10 hari bisa gitu ngalahin kesan 5 tahun? Kalau bukan karena iman, bisa gitu kakak-kakaknya ikhlas mengijinkan adik kecilnya nikah duluan? Kalau bukan karena iman, tega gitu orangtua membiarkan anak perempuannya didahului sama anak laki-lakinya yang bungsu? Kalau bukan karena iman, bisa gitu dua orang lulusan S1 yang baru lulus hitungan bulan yang lalu bisa membiayai pernikahannya berdua? Dan pertanyaan-pertanyaan 'bisa gitu?' lainnya. Keimananlah yang bisa menguatkan itu semua. Dan perjalanan inilah yang semakin menguatkan keimanan kami. Baru sampai tahap ini aja, baru 26 hari menikah, begitu banyak nilai-nilai keimanan yang bertambah dalam diri kami. Padahal pernikahan kan perjalanan panjang, yang selalu diniatkan tak akan berakhir bahkan sampai dimensi kami berubah ruang. Pasti akan ada banyak pelajaran keimanan lainnya yang akan kami dapat, saat nanti kami punya anak hingga nanti kami harus menikahkan anak kami, sampai tugas kami di dunia berakhir. Ya..disinilah kita gak akan kehabisan materi pembelajaran tentang keimanan.

Siapapun yang akan menikah, baru menikah, telah menikah, yakinilah bahwa menikah adalah sekolah kehidupan yang panjang. Karenanya kita memang dituntut untuk selalu belajar dan memperbaiki pengetahuan kita. Karena jika tidak, mungkin kita akan tinggal kelas atau terpaksa drop out dari sekolah ini. Tinggal kelas tidak lebih baik dari drop out saya rasa. Kita menikah untuk bahagia, ketika kita tinggal kelas, berarti kita mengalami stagnansi dalam pernikahan kita. Tinggal kelas, berarti kita tidak berhasil melewati ujian pernikahan. Bukan berarti pernikahan kita berakhir, karena kita hanya tinggal kelas, bukan drop out. Tapi tidak ada orang yang bahagia saat tinggal kelas. Sedangkan kita menikah untuk bahagia. 

Allahu'alam
yang menulis ini hanya seseorang yang sedang mengumpulkan bahan bakar untuk terus menyalakan api kebahagiaan dalam rumah kecilnya dan ingin berbagi sedikit tentang begitu banyak pelajaran yang ia dapat dalam perjalanan pernikahannya yang baru kemarin sore. hehe




No comments:

Followers