Thursday 20 May 2021

Akhirnya corona sampai di beranda rumah kami

4 Desember 2020. 

Hari Jum'at pagi, aku bangun dengan badan yang terasa berat. Tadi malam tidurku tidak terlalu nyenyak. Ku dengar, kamar mandi di sebelah kamarku pun bulak balik dibuka. Rupanya mbak semalaman tidak bisa tidur dan bulak balik ke kamar mandi. Mekanisme tubuh memang selalu sejalan beriringan dengan perasaan kita. Meski ia seringkali dikambing-hitamkan, nyatanya memang perasaan hati adalah pengontrol paling penting keseimbangan fisik kita.

Aku pergi ke dapur, mencoba berpikir harus menyiapkan apa untuk pagi ini. Kubuka kulkas, ternyata tidak ada bahan makanan disana. Aku ingat masih ada lauk yang dibekukan di freezer. Ada nasi sisa tadi malam. Aku keluarkan lauk dari freezer. Kuambil dandang untuk memanaskan nasi. Tak lama, mbak datang ke dapur dengan wajah yang kusut. Sempat ada perbincangan singkat antara aku dengan mbak, tentang langkah kita selanjutnya akan seperti apa. Tapi pembicaraan masih menggantung. Ya, kami semua masih blank. Dan saat itu aku hanya berhasil memanaskan nasi sisa tadi malam. 

Subuh yang terasa panjang. Ada perasaan yang penuh di dalam dada. Ada pikiran yang jauh pergi kesana kemari. Ada fisik yang yang  terasa gontai.

Sekitar pukul tujuh, mbak meminta kami  bersiap-siap untuk melakukan swab. Pukul 08.30 kami sekeluarga harus sudah berada di rumah sakit. 

Pukul delapan kami selesaikan sarapan dan sekitar 08.20 kami menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan yang singkat itu kami tidak mengobrol. Hanya di tengah perjalanan mas memecah kesunyian dengan mengajak putri pertama kami untuk mengaji surat alam nasyrah. Kami ulangi berkali kali sampai di belokan terakhir menuju rumah sakit, mas menjelaskan kepada anak-anak bahwa sekarang kita semua akan ke rumah sakit untuk diperiksa, karena uti sakit. 

Mereka anak-anak kecil tentu tidak paham. Mengapa uti yang sakit tapi mereka yang diperiksa. 

Sampai di rumah sakit, badanku terasa semakin gemetar. Tapi aku pura-pura. Di dalam pikiranku, tak kuasa membayangkan anak-anak ini harus menjalani tes swab yang katanya rasanya tidak nyaman itu. Mereka masih berusia lima setengah tahun, dua setengah tahun, bahkan putri kecilku baru saja genap berusia empat bulan. 

Nama kami dipanggil, kami masuk berlima. Yang pertama mas, supaya selanjutnya ia bisa menemani anak-anak kami. Diluar dugaan. Dipangkuan ayahnya, mereka sama sekali tidak menangis saat dimasukan alat tes itu ke hidungnya. Hanya meringis sebentar, lalu selesai. Bayi kami pun sama, ia yang asalnya tidur, hanya terbangun. Dan tidak menangis sedikitpun. Anak-anak hebat. Padahal aku saja sampai mengeluarkan air mata saat swab di hidung. 

Hari itu kami masih menghabiskan waktu bersama, di ruang tv dan kamar. Anak-anak bermain bersama ayahnya. Malam hari kusempatkan memijit mas, setelah sekian lama rutinitas itu berkurang seiring bertambahnya jumlah anak kami. hehe. Hari itu masih seperti hari-hari biasanya. 

Malam semakin larut, tapi kabar tentang hasil swab belum datang juga. Katanya hari itu banyak sekali yang melakukan tes swab sehingga pihak rumah sakit cukup kewalahan. Akhirnya malam berlalu saat aku tertidur setelah menidurkan bayi kami. 

1 comment:

Isabella Kirei said...

teteh, sekarang apa kabar? Keluarga sehat? TT Desember, tapi baru tahu kabarnya sekarang.

Followers