Saturday 27 April 2013

Si Kecil yang Terlupakan

Suatu hari aku pernah berkata pada salah seorang adikku,
"Aku mulai khawatir dengan aktivitasku yang mulai berkurang. Akhir-akhir ini entah mengapa, sempat-sempatnya aku memikirkan diriku sendiri. Memikirkan perasaan ketidaksukaanku pada suatu hal, suatu sikap, atau seorang teman. Ko sempet ya mikirin itu? perasaan dulu ga pernah kepikiran. Kalau ada temen yang nyebelin, yowes. Kl ada situasi menyebalkan, pergi aja, ngapain dipikirin. Aku khawatir, ini imbas dari aktivitasku yang mulai menurun, hingga hal-hal remeh temeh seperti itu masih sempat kupikirkan. Kesibukan itu memang penting, biar kita ga sempet fokus sama hal-hal ecek kaya gitu."

Sampai sebelum menit ini, aku pikir kekhawatiranku ini benar. Hingga beberapa menit yang lalu, sudut pandang yang lain mulai terkuak.

Ada hal-hal yang seringkali kita ignore, saat ritme hidup meninggi. Ada perasaan-perasaan yang diabaikan, saat kita dituntut untuk memikirkan hal lain yang terlihat lebih besar di mata kita. Banyak hal-hal abstrak yang menurut kita ga penting, saat begitu banyak tuntutan konkret yang harus kita layani. Apakah itu salah? jawabannya mesti relatif, tak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar.

Nyatanya, kehidupan di lantai 4 Gedung Sayap Selatan Mesjid Salman ITB ini memberikan pelajaran hidup yang tak terbilang. 

21 jiwa berkumpul disini. Masing-masing memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Disiplin ilmu yang berbeda. Pola pikir yang berbeda. Visi dan Misi hidup yang berbeda. Aktivitas yang berbeda. Pola tidur yang tak sama. Sensitivitas yang beragam. Pengaturan emosi yang bermacam-macam. Dan kesemuanya mesti hidup di bawah atap yang sama, masuk melalui pintu yang sama, memasak di dalam dapur yang sama, kamar mandi yang searea, bahkan tidur bersama 2-4 orang dalam satu kamar. Dan PRnya lagi, katanya tempat mereka ini harus menjadi sebuah rumah, surga, sekolah, kamar, komunitas, dan ruang publik sekaligus. Kondisi ideal yang sangat sulit bisa teralisasi tanpa bantuan dua buah kata, mengerti dan peduli.

Dan aku mulai menyadari, bahwa hal kecil yang kita abaikan bisa jadi merupakan perkara besar untuk orang lain. Dan karenanya kita menjadi makhluk yang dzalim. Pada diri sendiri, terlebih pada orang lain. 

---

Wahai diri, mengertilah bahwa sesungguhnya yang lain akan sulit memahami diri ini kecuali engkau yang memulainya.

Wahai diri, mengertilah bahwa kau hidup bersama yang lain. Maka buatlah mereka nyaman, sebelum kau menuntutnya dari siapapun.

Wahai diri, sadarilah bahwa mungkin kebersihan itu adalah hal sepele diantara segudang aktivitasmu yang maraton dari menit berbilang jam yang kau lalui. Tapi saudaramu memiliki hak untuk berada di lingkungan yang nyaman.
Maka mestinya mencuci piring setelah kau makan, mencuci bekas masak setelah kau pakai, menyelesaikan cucianmu yang kau rendam, mengangkat jemuranmu yang sudah kering, tertib pada setiap piket kebersihan yang kau pegang, bukanlah hal sepele yang lantas kau abaikan, sedang saudaramu merasa risih dan terkorbankan.

Wahai diri, mengertilah bahwa ini adalah rumahmu juga. Maka akan seberapa tak pedulinya kau pada rumah yang semestinya menjadi surga duniamu. Saat ternyata ada dinding yang bocor, ada lantai yang kotor, pintu yang tak dikunci, lampu yang terus menyala dan baju temanmu yang masih diluar sedang hujan deras turun tanpa ampun. Sadarilah, bahwa kepedulianmu akan membahagiakan saudaramu. 

Wahai diri, sadarilah bahwa hidupmu bukan semata-mata pada dirimu saja. Saat kau merasa sibuk, sesungguhnya tak akan jauh berbeda dengan teman sekamarmu. Saat kau merasa letih, mungkin yang lain merasa lebih. Karena kita terpaut dengan dimensi waktu yang sama, 24 jam sehari, 7 hari dalam semimggu. Maka sekarang memang saatnya untuk berlelah..
Saat raga terasa terkoyak, turun ke bawah untuk melaksanakan shalat berjamaah, jadikanlah ia bahan bakar untuk mengisi semangat yang baru. Bukan lantas menjadi beban, dan mencari beribu alasan untuk mundur.

Wahai diri, sadarilah ini nikmat Allah yang juga akan dimintai pertanggung jawabannya.
Tidakkah kau malu atas kepercayaan yang Allah beri dengan menempatkanmu di lingkungan rumah-Nya, disaat beribu orang harus melangkah jauh dari tempat tidurnya menuju lantai kayu yang menyejukkan ini? Tidakkah kau malu?

Wahai diri, semoga kau tak termasuk manusia angkuh yang merasa penuh dengan sesuatu yang sebenarnya belum seberapa. Karena sesibuk apapun aktivitas dan mimpimu, tak menjadi alasan untukmu tak peduli pada hal-hal kecil yang ada di sekitarmu.


Wahai diri, tak perlu mengeluh atas episode hidup yang kau jalani sekarang.
Bergeraklah, lakukan apapun yang memang harus kau lakukan.
Bergeraklah, benahi sesuatu yang kau pikir memang perlu dibenahi.
Tak perlu menunggu yang lain, karena sesungguhnya amalmu hanya untukmu. 

Wahai diri, sadarilah bahwa waktumu disini tak seberapa lagi.. 

Teruntuk saudara-saudaraku,
Maafkan atas begitu banyak hak ukhuwah yang masih belum sempat tertunaikan.

Demi masa,
Sungguh, manusia berada dalam kerugian
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran
QS. 103: 1-3

No comments:

Followers