Tuesday 30 September 2014

NOL SEMBILAN

Apa yang membuat seseorang menjadi sangat berarti. Patut disanjung dan layak untuk dikenang.
Apakah ia harus selalu berupa lembaran teks proklamasi yang dibacakan di sebuah jalan pegangsaan,
Ataukah juga ia harus berupa pekikan revolusi,
temuan-temuan ideologis,
atau juga harus berupa proyektil yang menghantam tempurung kita,
saat kita tengah mengepalkan tangan dalam sebuah long march menuju senayan.

Karena di tempat ini,
ketika aku menyadari bahwa setiap makna akan selalu lahir bersama apapun yang ada.
Sebuah pengertian lain tentangnya tiba di hadapanku.
Bahwa barangkali pada masing-masing tempatnya, setiap manusia selalu layak untuk dikenang,
selalu patut untuk disanjung.
Bahwa setiap manusia telah menjadi berarti dari setiap pertama kali mereka terlahir.

Dan pengertian-pengertian itu menjadi sesuatu yang selalu aku temui disini.
Di segala hal yang pernah kita lewati bersama.
Di setiap satuan penggalan waktu kita.

Tanah-tanah itu,
sebuah tempat saat kita pernah berjalan mendekat
membangun sebuah cerita dan mulai meneriakkan kalimat-kalimat menggetarkan itu.

Kita adalah Nol dan Sembilan.
Tempat dimana angka terendah dan angka tertinggi bisa duduk bersama,
membentuk sebuah deretan
tempat segala kemungkinan nilai dapat muncul di dalamnya.

Kita bukan anak-anak penerus tahta,
tempat segala keagungan ditentukan oleh garis keturunan.
Kita adalah kelahiran yang ganjil,
tempat hirarki yang telah mendefinisi ulang kebenaran,
dan jauh lebih penting dari segala perbedaan yang selalu kita terima bersama. 

Kita bukanlah para pemenang,
yang memilih tidur karena merasa segalanya sudah berakhir.
Kita adalah pejuang,
ketika pertarungan selalu menjadi satu-satunya alasan manusia untuk bertahan hidup.

Kita tidak akan pernah menjadi mereka.
Kita bukan mereka.
Kita adalah Nol dan Sembilan.

-----

Terima kasih dua ribu sembilan.
Hari ini saya masih dua ribu sembilan,
besok saya menjadi manusia biasa lagi.

-----

Hari ini di pintu yang sama saat kita memulai segalanya.
Masing-masing kita kembali melewatinya,
kembali berjabat tangan seperti waktu itu.
Tapi bukan untuk memulai keberartian kita.

Kita berpamitan.
Bahwa di titik ini setiap dari kita memang seharusnya telah berlari menjadi arti yang lain
Melesat menuju semesta,
ke sudut-sudut langit yang mungkin tak akan lagi sama.

Terima kasih atas waktu-waktu itu,
cerita-cerita itu, 
dan segala maaf itu.

Senang bisa mengenal kalian semua

-----

by: Irvan Aulia




No comments:

Post a Comment