Thursday 16 April 2015

Refleksi di Akhir Kehamilan

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman ; 14)

Maha suci Allah yang telah mengizinkan saya merasakan kebesaran-Nya melalui kehamilan. Merasakan sebuah proses penciptaan makhluk baru yang terjadi di dalam tubuhmu sendiri. Merasakan betapa seorang wanita Allah didik langsung lewat proses ini untuk kemudian menjadi seorang ibu, madrasah pertama bagi putra-putrinya. 

Begitu banyak hal yang saya rasakan sejak awal kehamilan hingga mendekati persalinan ini. Dan saya merasakan betul betapa Allah mendidik saya banyak hal dengan karunia ini. Beberapa minggu sebelum akhirnya saya mengetahui positif hamil, entah bagaimana caranya saya mulai merasakan ada perbedaan di dalam tubuh ini. Setelah browsing di internet, keyakinan saya pun bertambah, namun tidak berani mengatakannya pada siapapun termasuk suami, karena belum bisa dibuktikan dengan apapun. Hingga akhirnya tanggal 2 Agustus 2014, hasil testpack  menyatakan saya positif hamil. Dari sana kemudian saya mulai merasa bahwa memang ada ikatan yang entah seperti apa antara seorang ibu dengan anaknya. Sebut saja itu sebuah intusi seorang ibu, yang kemudian itu menjadi modal awal baginya untuk selalu ingin menjaga dan melindungi peri kecilnya.

Hanya berjarak 2 hari setelah mengetahui kehamilan ini, saya mengalami pendarahan, keluar flek, Kemungkinan besar terjadi karena guncangan di dalam kereta saat perjalanan pulang dari Ponorogo. Segera setelah sampai di Bandung kami periksakan ke klinik bersalin dan saya diminta bedrest selama dua minggu. Cukup kaget karena ternyata seserius ini jika keluar flek di awal kehamilan. 2 hari kemudian, flek tidak kunjung hilang malah bertambah dengan keluarnya gumpalan darah.  Segera saya dan suami pergi ke klinik bersalin, dan ternyata saya mengalami acaman keguguran. Rasa cemas dan panik yang luar biasa dicampur perasaan bersalah terus membayangi disamping rasa sakit karena nyerinya pendaharahan tadi. Sejak saat itu saya ikuti anjuran dokter untuk istirahat full dan sangat membatasi bergerak hingga menghabiskan banyak waktu hanya di tempat tidur saja. Alhamdulillah suami sangat ringan membantu mulai menyiapkan makanan sampai mengantar ke kamar mandi. Bukan hal yang mudah ternyata untuk bisa menikmati hari hanya diatas tempat tidur, tapi demi keselamatan janin, anjuran dokter pasti saya lakukan. Syukur Alhamdulillah dedek janin selamat dan terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang. Dari sana saya mulai merasakan betapa tidak ingin rasanya terjadi hal yang buruk pada calon buah hati kami, sekecil apapun itu. Sejak saat itu rasanya apapun saya lakukan asalkan dedek janin sehat dan selamat. Rasanya bahkan saya tidak pernah menjaga diri dan kesehatan saya sebaik saat saya hamil. Saya jadi teringat pada ibu, betapa sering ia mendahulukan kepentingan anak-anak dan suaminya dibandingkan dengan dirinya dan kesehatannya sendiri. Mungkin memang seperti itulah seorang ibu.

Trimester pertama kehamilan cukup berat bagi saya. Selain karena mengalami pendaharan, morning sick  yang saya alami juga cukup mengganggu sehingga seringkali dalam seminggu saya hanya masuk kantor dua atau tiga hari saja. Ditambah jarak rumah dengan kantor yang cimahi-ujung berung, membuat fisik saya menjadi mudah lelah. Ditambah lagi bulan ke-2 kehamilan saya dan suami harus menjalani LDR karena suami harus ke karanganyar untuk memulai pengabdian di pondoknya ketika MA. Maka sejak saat itu saya mesti naik bis untuk perjalanan ke kantor. Mulai dilema karena performa kerja yang menurun, akhirnya di akhir bulan ke-2 kehamilan saya memutuskan untuk resign. Bukan keputusan yang mudah sebetulnya mengingat banyak hal termasuk kondisi finansial keluarga, tapi setelah beristikhoroh, akhirnya keputusan resign itu diambil juga. Kami yakin insyaallah pintu rezeki Allah Maha Luas dan pasti ada hikmah yang besar dibalik ini semua. Saat itu yang lebih saya utamakan adalah kesehatan dan keselamatan dedek janin. Apa memang seperti itu ya seorang ibu pada anaknya?

Masuk trimester kedua, segala keluhan mulai berkurang. Ternyata benar kata orang-orang bahwa trimester kedua adalah saat-saat paling nyaman dalam kehamilan. Kondisi fisik nyaris tak ada masalah sedikitpun, tapi di masa inilah pertama kalinya saya jauh dari orangtua. Di bulan ke-5 kehamilan saya boyongaan ke Karanganyar untuk ikut bersama suami. Ibu, Bapak, dan Adik-adik ikut mengantar saya. Dan momen saat mengantar keluarga bandung pulang ke stasiun adalah hal yang cukup berat. Di pintu stasiun Ibu 'menitipkan' saya pada mas sambil menangis. Terlihat sekali kecemasannya pada anak sulungnya yang sering sakit-sakitan ini. Ibu tahu persis fisik saya yang ringkih karena selama ini beliaulah yang selalu sabar merawat saya. Terlebih anak sulungnya ini sedang hamil, rasa cemasnya pasti bertambah. Ah, sungguh perpisahan ini juga mengajarkan banyak hal, terutama tentang kasih sayang Ibu dan Bapak yang selama ini tak pernah terungkapkan dengan kata. Tapi jarak yang selalu melahirkan rindu, membuat kata yang tak terungkap itu menjadi jelas terbaca.

Surat Luqman yang menjadi pembuka dari tulisan ini, rasanya cukup menjadi gambaran tentang bagaimana rasanya kehamilan di trimester ketiga. Keadaan yang lemah dan bertambah-tambah. Ya kurang lebih memang seperti itu. Di awal trimester ketiga hal itu masih belum terasa, tapi mulai bulan ke-8 segalanya berubah. Mulai dari sulitnya tidur malam karena suhu tubuh yang meningkat. Setiap malam pasti terbangun dalam kondisi badan berkeringat. Ketika shalat, saat akan berdiri dari sujud rasanya beraat sekali. Ditambah lagi di akhir trimester ketiga ini lagi-lagi saya harus LDR dengan mas karena sebuah urusan. Saya tinggal di ponorogo bersama ibu-bapak mertua, dan mas di Karanganyar bulak-balik Jogja. Saya akui, memang bukan hal yang mudah harus melewati malam-malam yang panjang sendirian. Waktu berlalu dan kehamilan sayapun menginjak minggu ke-32. Pinggang dan perut bagian bawah mulai terasa sakit dan pegal, seperti orang yang habis jalan jongkok. Bedanya rasa sakit dan pegalnya tak kunjung hilang sampai sekarang. Kaki dan tangan yang selalu terasa ngilu setiap kali bangun tidur, rasanya beraaat sekali untuk bisa menompang badan untuk berjalan. Malam-malam yang tetap panjang karena sulit tidur. Gerakan dedek janin yang makin terasa ngilu karena badannya yang semakin besar sedangkan perut saya yang sedemikian adanya. Kurang lebih begitulah kondisi fisik di akhir kehamilan. Namun yang unik, dengan kondisi ini justru ibu hamil di trimester terakhir justru harus lebih banyak bergerak jika ingin persalinannya nanti lancar, begitu anjuran semua orang. Jalan-jalan pagi, mengepel lantai, yah, apapunlah yang penting banyak gerak. Di awal LDR ini, berpisah jarak dengan mas cukup membuat saya memiliki keterbatasan energi untuk bisa semangat bergerak (malas.red). Ditambah lagi ponorogo merupakan tempat baru yangn cukup asing, membuat saya cukup berat jika harus berjalan-jalan seorang diri. Beraaat sekali rasanya. Seringkali logika dan perasaan saya berseteru. Saya tahu saya harus bergerak, tapi hati saya berat sekali karena ingin ada mas yang menemani. Seringkali saya menyalahkan diri sendiri dengan kondisi ini. Sesekali saya masih jalan pagi, kadang ditemani ibu mertua, kadang ditemani adik sepupu, kadang sendiri. Tapi kadang saya malah tidur lagi dan tidak jalan pagi, pembelaannya karena malam susah tidur dan pagi-pagi badan menjadi sakit semua. Hampir sebulan saya 'bertengkar' dengan diri sendiri atas kondisi itu. Tapi di minggu ke-36 kehamilan, alhamdulillah saya mulai stabil. Saya mulai bisa menerima segala kondisi saya saat itu dan terutama yang membuat saya bangkit adalah karena keinginan yang begitu kuat untuk bisa melahirkan normal. Akhirnya saya mulai rutin jalan kaki, ditambah senam-senam yang dianjurkan bidan yang bisa melancarkan persalinan. Jika tidak memungkinkan jalan keluar, saya jalan di pekarangan depan rumah yang cukup luas (menurut saya) sampai 30 kali bulak-balik. Begitulah kurang lebih, dalam keadaan fisik yang menurun, justru memang harus dipaksakan bergerak. Jika saya ingat-ingat, selama saya sakit (yang bilangannya terhitung sering) baru saat hamil ini saya bisa melupakan rasa sakit hingga nyaris tak terasa lagi karena terbiasa dengan rasa sakitnya. Padahal nyeri di pinggang dan perut bawah itu nyaris tidak pernah hilang sejak pertengahan bulan ke-8 sampai sekarang. Disini saya merasa sedang didik oleh Allah untuk menjadi perempuan yang lebih kuat, tidak mudah menyerah pada rasa sakit, tidak mudah menyalahkan situasi, dan belajar untuk bisa mengatur tubuh saya (pikiran dan hati) untuk bisa melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Karena mungkin nanti ketika saya telah menjadi seorang ibu, banyak hal yang harus saya lakukan dan perjuangkan meski itu semua berarti mengorbankan kenyamanan diri saya sendiri. Ah, mungkin memang seperti itulah seharusnya seorang ibu kelak.

Kini usia kehamilan saya menginjak 41 minggu, telah melawati hari perkiraan lahir (HPL) yang diprediksikan. Mulai banyak yang menanyakan; kapan saya lahiran, apakah sudah kontraksi, sudah ada tanda-tandanya belum, sampai somehow  pertanyaan 'Udah kontraksi belum?' terdengar seperti dulu ketika belum menikah, 'Udah ada calon belum?'. Hahaha.. Yaa.. saya rasa ini bagian dari bab ujian kesabaran bagi saya. Insyaallah dedek janin akan lahir di waktu dan saat yang tepat.

Setiap ibu pasti memiliki jalan cintanya masing-masing dalam perjuangan bertemu dengan buah hatinya. Dan dari sana, sejak awal kehamilan ini saya selalu merefleksikan setiap perasaan cinta dan kasih sayang saya pada janin ini dengan perasaan ibu saya ketika dulu mengandung saya. Saya bisa merasakan perjuangan dan kecintaan Ibu. Ia pasti telah mengorbankan banyak hal. Ia telah berhasil menjaga saya sejak dalam kandungan sampai sekarang saya mengandung dan akan melahirkan seorang anak. Ibu telah sekian lama berjuang dan mengutamakan anak-anaknya daripada dirinya sendiri. Ibu -yang terkadang masih muncul perasaan kesal kepadanya, adalah sosok yang paling sempurna mengejawantahkan cintannya pada anak-anaknya. Ibu, yang meski sering bermasalah dengan cara berkomunikasinya, adalah orang yang hanya ingin menyampaikan segala kecintaan dan kasih sayang pada anak-anaknya. Ibu, yang masih sering dikecewakan  oleh anak-anaknya, adalah sosok yang tak pernah putus menginginkan dan mendoakan segala kebaikan untuk anak-anaknya. Mungkin itulah mengapa, doa ibu menjadi salah satu yang tak tertolak untuk dikabulkan-Nya. 

41 minggu ini menjadi refleksi atas apa yang mungkin telah ibu saya lalui saat mengandung saya dulu. Dan ini baru kisah tentang mengandung, belum melahirkan, menyusui dan membesarkan anak-anaknya hingga besar. Seperti itulah cinta Ibu. Hanya saja kami, anak-anaknya, yang sering luput untuk bisa merasakan betapa besar cinta dan kasih sayang tulusnya. Maafkan Bu.. Semoga surga menjadi termpat terbaik sebagai hadiah atas segala pengorbanan dan ketulusanmu... aamiin...

" Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandungnya hingga menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, " Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim." (QS. Al- Ahqaf ; 15)


No comments:

Post a Comment