Thursday 4 September 2014

Pelajaran Keimanan Kedua

Hari yang panjang, mungkin karena hari ini bedrest di rumah. H-4 mas pindah ke solo. Ah, sebetulnya aku ingin membuat ini biasa saja. Biasa seperti saat-saat sebelumnya mas proyekan ke luar kota. Biasa seperti saat-saat sebelumnya mas bulak-balik ke pondok untuk mengurus proyek atau pengabdian. Nyatanya memang jiwa melankolis ini selalu muncul. Yang paling sering ketika malam datang dan kudapati mas tidur lebih dulu, lalu kupandang wajahnya. Dan begitu saja air mata ini merembes pelan. Kupeluknya, tapi malah merembes lebih banyak jadinya.

3 bulan lebih menjalani kehidupan sebagai pengantin baru yang masih tinggal bersama orangtua, membuat masa pengenalan dan penyesuaian ini terasa lebih dinamis. Bukan hanya pegenalan dan penyesuaian antara aku dan mas tapi juga sekaligus mas dengan keluargaku serta keluargaku dengan kehadiran mas. Menurutku inilah yang membuat masa pengenalan kami menjadi lebih lengkap. Tidak hanya melihat bagaimana sikapnya padaku, tapi juga bisa melihat bagaimana sikapnya pada keluargaku, bahkan keluarga besar kedua orangtuaku. Dan masyaallah, mas memang sangat santun. Aku banyak belajar darinya.

3 bulan yang menyenangkan. Teramat menyenangkan menurutku. Bahkan jika ada yang bertanya, pernah berantem gak? Aku sampai harus terdiam dulu untuk memikirkannya. Bukan karena tidak pernah ada percekcokan tapi karena tak ada percekcokan yang sampai aku ingat. Itu karena memang semuanya selalu selesai dalam waktu kurang dari sehari dan berakhir dengan keromantisan. Hehe. Aku memang paling tidak bisa berdiam lama padanya. Mas terlalu ngangenin. Rasanya rugi sekali kalau sejam saja berlalu tanpa sikap hangatnya.

3 bulan yang penuh kejutan. Kejutan akan sikap-sikapnya. Kejutan akan kegemaran-kegemarannya. Kejutan akan ilmu-ilmunya. Kejutan akan segala hal tentangnya. Ah, mungkin memang ini yang disebut jatuh cinta. Bukan cintanya membuatku jatuh tersungkur. Tapi cintanya membuatku terjatuh, terkaget-kaget, is it true? Diakan rizki jodoh yang Allah berikan untukku? Dan dengan cintanya, ia menyadarkanku dan mengajakku bangun dan berjalan bersamanya. Ih, ngomong apa aku ini? Haha. Intinya aku jatuh cinta padanya. Itu saja.

Dan bisa kau rasakan. Betapa besar energinya membangunkanku. Memberikan begitu banyak rasa hangat dan nyaman yang belum pernah aku rasakan. Perlindungannya membuatku merasa dimuliakan. Penjagaannya membuatku merasa aman. Perhatiannya membuatku merasa begitu spesial. Sanjungannya membuatku merasa sempurna. Sikapnya dan segalanya membuatku jatuh cinta. Sungguh! Dan makin hari aku kecanduan. Rasa bergantungku semakin tinggi. Perlu kuakui bahwa ini memang kali pertama aku diperlakukan seperti itu. Aku betul-betul jatuh cinta padanya. Bahkan saat aku di kantor, aku sering merindukannya meski pagi hari ia mengantarku dan sorenya ia menjemputku. Siang hari di kantor, sering kali aku merasa kesulitan untuk menunggu sore datang hanya untuk sekedar berkata "Love you, sayang". Ah, mungkin ini berlebihan tapi sungguh, aku telah jatuh cinta padanya. 

Dan perasaan itu kini harus rela terpisah oleh jarak. Di saat perasaan ini bertumbuh semakin besar. Ketika kebutuhan akannya semakin tinggi. Dan ketika emosiku mengalami fluktuasi akibat penyesuaian tubuhku dengan janin dalam rahimku, buah cinta kami. Bukan hal yang mudah bagiku. Ketika baru tiga bulan merasakan indahnya memiliki teman hidup, selalu bersama, setiap malam berbagi kisah, setiap pagi memulai dengan senyum penuh cinta, dan kini harus rela dipisahkan oleh jarak. Bukan hal yang mudah bagiku. Beberapa kali ketakutan itu terbawa hingga mimpi. Hingga aku terbangun tengah malam, lalu menangis dan memeluknya. Percayalah, ini bukan hal yang mudah bagiku. 

Belakangan kami lebih sering membahas ini. Lebih tepatnya mas menguatkanku tentang ini. Aku memang sering menangis jika pembicaraan ini dimulai. Tapi mas selalu menenangkanku. Mas selalu mengingatkanku; tentang cita-cita kami, tentang jalan hidup yang telah kami pilih, tentang perjuangan yang harus kami lalui, tentang kesabaran yang selalu harus kami miliki, tentang nasihat-nasihat ibu, tentang semuanya. Tanpa lelah dan bosan, mas selalu mengingatkanku dengan lembut dan penuh kesabaran. Hingga akhirnya hatiku bertemu dengan sebuah titik bernama keikhlasan.

Ya, insyaallah aku telah ikhlas. Aku sadar betul tentang jalan hidup yang memang tak selalu nyaman sesuai yang kita inginkan. Bukankah sejak dulu aku terbiasa menjalani hidup di luar comfort zone. Bukankah sejak dulupun aku terbiasa bermonolog dengan diri untuk menyelesaikan hidup. Dan hei! Aku punya Allah yang selalu ada bahkan sejak sebelum aku bertemu dengan mas. Mungkin ini lagi-lagi pelajaran aqidah yang Allah ajarkan dalam perjalanan pernikahan kami. Bahwa sebesar apapun rasa cintaku pada mas, cintaku pada-Nya tetap harus melebihi. Bahwa aku dan mas adalah sama-sama manusia yang mungkin ada saatnya pergi, ada saatnya terpisah oleh jarak, ada saatnya tak ada saat dibutuhkan. Tapi Allah akan selalu ada kapanpun, dimanapun kami berada. Dan Ia ingin menyadarkanku, bahwa memang hanya pada-Nya lah kami bergantung dan mengadu. Bukan pada manusia, sekalipun ia adalah suami yang sangat kita cintai. Allah akan selalu ada, membersamai kita, bahkan tanpa kita minta.

----

Mas, mungkin aku akan tetap menangis setiap kali melepas kepergianmu yang sementara dan sebentar ini. Tapi tak perlu risau sayang, aku kuat insyaallah. Seperti yang aku katakan, itu hanya ungkapa jujurku yang tak sanggup aku tutupi dan aku hanya perlu waktu untuk belajar hingga terbiasa. Selamat memulai duluan kehidupan baru kita kelak disana. Insyaallah aku akan menyusul, kan? Siapkan segalanya dengan baik ya sayang. Untuk cita-cita besar kita insyaallah. Fii amanillah. Semoga Allah selalu menjagamu, memberkahi setiap usahamu, menguatkan pundakmu, dan menjadikanmu sebaik-baik imam untukku dan anak-anak kita kelak. aamiin.. Allahumma aamiin..


No comments:

Followers