Sunday, 6 March 2022

Memaafkan

 Siang tadi aku marah besar kepada si bujang. Sudah sejak pagi kutahan untuk tetap menjaga ketenangan. Padahal dia baru saja sampai setelah bermalam di rumah Uti tiga hari dua malam, tapi baru saja bertemu tingkahnya sudah banyak macamnya. Sebentar merengek, sebentar berteriak, sebentar memaksa, sebentar menangis, dan lainnya. 

Awalnya aku masih bisa menarik nafas agar lebih tenang dalam menyikapinya. Tapi akhirnya di siang hari pertahanan itu runtuh, saat semuanya menuntut perhatian. Dia yang merengek ingin ikut ayahnya, adiknya yang pup, pesan watsap yang menumpuk, persiapan-persiapan untuk tamu yang sebentar lagi tiba, dan yaa mungkin badan yang lelah.

Aku marah, nada suaraku meninggi, tanganku bergetar, mataku melotot. Bersyukur sekali tangan ini tidak sampai menyentuh tubuh mungil itu dan mulut ini tak sampai mengeluarkan kata-kata yang buruk baginya. Tapi dia menangis sejadi-jadinya melihat perubahan sikapku yang drastis itu. Matanya ketakutan. Tapi raganya terus mendekatiku, memohon-mohon katanya, aku sudah baik. Sayangnya diri ini terlanjur tidak stabil. Dan nafasku mulai berat, sesak, kepalaku terasa panas dan pening, jantungku berdegup kencang, dan tubuhku melemas. Mungkin ini yang dinamakan naik darah.

Akhirnya setelah membersihkan adiknya, aku pergi ke kamar belakang untuk mengASIhi si bungsu. Pintu kamar kukunci. Awalnya aku masih mendengar tangisan itu dan beberapa kali ada yang mengetuk pintu. Tapi lama kelamaan tak ada suara yang terdengar. Baguslah pikirku. Aku sedang butuh waktu.

Sambil mengASIhi aku berusaha melepaskan tubuhku, berusaha relaks, memejamkan mata tapi tak bisa tidur hanya membuat kepala semakin pening. Akhirnya kupalingkan wajahku ke arah jendela. Terlihat hijau pohon-pohon dan suara air sungai di sebelah rumah. Tak terasa badanku menjadi lebih ringan. Nafasku mulai teratur, mataku sudah mulai perih. Akhirnya aku tertidur. 

Entah seberapa lama. Tapi aku sempat terbangun, dan memutuskan untuk melanjutkan tidur lagi. Di bangun yang entah keberapa kalinya, akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar. Melihat situasi di luar yang senyap tak ada suara tangisan dan yang lainnya. Kucari mereka berdua yang ternyata sudah tertidur pulas di kamar depan. Kuputuskan kembali ke kamar belakang, untuk tidur lagi. Tapi pintu tak dikunci.

Sore harinya, semua membaik saat tamu-tamu sudah datang. Seakan tidak terjadi drama apapun sebelumnya. Dan saat menjelang maghrib, aku memandikan mereka. Saat tiba giliran si bujang, sambil menyabuninya aku mencoba membuka obrolan,

Aku : Mas, maaf ya tadi siang Bunda marah-marah. 

Dia mendengarkanku, melihat mataku, dan sedetik kemudian dia jawab.

Bujang : Iya.. Aku juga minta maaf ya, Bunda.. Tadi aku ngulang-ngulang minta ikut ke Ayah. 

Aku menatapnya dengan menahan air mata yang ingin keluar.

Dia masih akan berusia 4 tahun bulan ini, tapi dia bisa mengerti alasan Bundanya marah besar dan dengan begitu lapang dada meminta maaf balik atas perbuatannya yang membuat Bundanya marah. 

Aku bertanya, apakah ini sikap yang biasa saja untuk anak seusia balita?? 

Aku rasa tidak?!

Anak ini ajaib! Bagaimana mungkin seorang anak kecil meminta maaf atas tingkah kekanak-kanakannya?! 

Ah, entahlah!

Saat ini isi kepalaku terlaku penuh untuk menelaahnya.

Tapi yang pasti, aku sedang diajari banyak hal oleh anak balitaku tentang meminta maaf dan memaafkan.

Memaafkan itu ringan sajaa. Maafkan saja. Karena mungkin di saat yang bersamaan, kita juga melakukan kesalahan. Jika ia, jangan sungkan untuk meminta maaf juga. 

Monday, 31 January 2022

Surat Untuk Ibuk

 ​Bismillah..

Assalamu’alaikum, Ibuk.. semoga selalu Allah berikan kesehatan dan keberkahan pada setiap detik waktu yang dilalui. Mungkin Ibuk gak akan menemukan surat ini, meskipun begitu semoga dengan ditulisnya surat ini akan membuat hati ini menjadi lebih ringan.


Mungkin malam-malam di dua minggu terakhir ini menjadi malam yang penuh khayalan untukmu. Khayalan akan kesendirian, akan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, atau mungkin khayalan tentang ‘andaikan saja’ yang banyak jumlahnya. Tapi mungkin juga tidak begitu, dengan karaktermu yang kuat, kokoh dan tak ambil pusing, bisa jadi juga malam-malam ini berjalan seperti biasanya saja. 


Ibuk, dua hari lagi kami akan pindah rumah. Meninggalkanmu disini sendirian, meski setiap minggu mas masih akan pulang selama tiga hari, dan di sekeliling rumah juga ada rumah Ibumu dan saudara-saudara yang juga banyak jumlahnya. Tapi mungkin dan pasti semuanya akan berbeda. Tidak ada suara berisik dari tiga cucu-cucumu yang masih kanak-kanak ini. Tidak ada rumah berantakan dengan mainan yang memenuhi seluruh lantai mulai dari ruang tamu hingga dapur. Tak ada lagi baju-baju yang dibiarkan saja dilantai setelah dicopot oleh anak-anak karena kegerahan. Dan tidak ada lagi tangisan perselisihan, rebutan mainan, atau kecelakaan ringan di dalam rumah. 


Ibuk, maafkan kami (aku) yang pada akhirnya memilih keputusan ini. Sungguh tak pernah ada keinginan sedikitpun untuk meninggalkanmu sendirian, terlebih setelah Bapak meninggal. Berat kami membayangkan Ibuk harus menjalani hari-hari yang sepi di rumah yang seluas itu. Karena itulah, dulu, kami tidak banyak berpikir untuk langsung pulang, meninggalkan yang telah kami rencanakan, untuk menemanimu di rumah. Tapi kini nyatanya kami malah memutuskan untuk kembali pergi, bahkan di saat Mbak baru setengah tahun meninggalkan kita, menyusul Bapak. 


Ibuk, sejujurnya aku merasa gagal atas keputusan ini. Aku yang sejak sebelum menikah berprinsip untuk tidak ingin membuat pilihan untuk suami, antara aku atau ibunya. Aku yang selama ini berusaha untuk tak banyak tanya, tak banyak kompromi, tak akan menolak, sesuatu yang akan mas lakukan untuk orangtuanya. Aku yang tak ingin banyak berpikir tentang diriku sendiri, tentang kenyamananku, tentang keinginanku, jika telah bertemu dengan keinginan dan kenyamananmu. Tapi nyatanya saat ini aku menodai segala prinsip yang kubangun sendiri. Aku lemah tak berdaya, tak berkutik, melihat diriku yang patah. Aku menyerah untuk terus melangkah, saat kusadari ternyata kaki ini bahkan tak mampu untuk bergerak. Aku pasrah, pada apa-apa yang selama ini kurasa telah kuperjuangkan. Aku telah gagal, buk.. 


Awalnya aku tak ingin mengakui kelemahan ini. Rasanya ingin kututupi segala ketidakberdayaan ini. Aku ingin tetap disini, karena kutahu dirimulah satu2nya pintu surga yang masih Allah hadirkan untuk mas di dunia ini. Dan aku yakin tak akan pernah ada yang sia-sia dari setiap detik waktu yang kami lewati untuk menemanimu..


Tapi buk, aku patah lebih parah, saat kusadari bahwa ketidakberdayaan ini berdampak pada anak-anak kecil yang tak berdosa. Patahku membuat mereka kehilangan aku. Patahku membuat mereka juga tidak bisa berdiri karena tak ada yang menopang. Patahku membuat mereka menjadi layu, karena mereka juga terluka atas apa yang telah kulakukan.


 Di titik ini aku tersadar bahwa aku tidak boleh membiarkan anak-anak ini menjadi tidak tumbuh paripurna, hanya karena aku sebagai penopangnya menyerah dengan membiarkan diri ini tetap patah. Di titik ini aku terbangun, bahwa aku punya kendali untuk menyembuhkan patah ini. Aku harus sembuh, aku harus bangkit lagi, agar mereka mendapatkan hak untuk ditumbuhkan juga. Tapi aku butuh waktu.. Aku butuh belajar lebih.. karena aku telah terlanjur patah..


Ibuk, maafkan kami (aku) yang telah memilih keputusan ini. Dan dengan lebih kurang ajarnya lagi, aku berharap semoga Ibuk ridho atas ini. Atau setidaknya semoga Ibuk tetap ridho kepada mas. 


Ibuk, maafkan kondisiku saat ini. Mohon doakan semoga ini semua menjadi pembelajaran yang berharga, untuk kita semua. Semoga kami tetap bisa berbakti penuh kepadamu meski kini kita tak seatap lagi. Semoga Ibuk ridho kepada kami.. 


Salam sayang dari yang sangat sulit terungkapkan. Dari anakmu yang baru bertemu 7 tahun. 

Monday, 24 January 2022

Hello, me!

Bismillah..
Masyaallah tahun 2022. Tulisan pertama di tahun ini saya dedikasikan untuk aktifasi keanggotaan di komunitas Mamah Gajah Ngeblog (MGN) tantangan Januari. Sebelumnya saya kenalin dulu nih, MGN itu adalah subgrup dari komunitas ITB Motherhood khusus blogging. MGN berisi ibu-ibu alumni ITB yang memiliki kegemaran menulis di blog. Sebetulnya sih saya ngisi formulir keanggotaannya sudah sejak syawal tahun lalu, tapi baru kali ini bisa ikutan tantangannya. Semoga dengan submit tantangan Bulan Januari menjadi nyawa baru untuk hidupnya kembali blog ini setelah lama mati suri.

Tema tantangan bulan ini adalah tentang dirimu, mamah gajah. Tema yang bikin saya agak baper berkaca-kaca karena jujur aja, ini pas banget dengan momen ingin "memanggil" kembali si Aku sebagai bagian dari awal proses healing. Semoga juga bisa menjadi semangat baru untuk mengawali tahun 2022 dan tambahan kekuatan untuk proses hijrah yang sebentar lagi akan saya tapaki. Bismillah..

...
Gadis kecil itu bernama Hasri, ia si anak pertama sekaligus cucu pertama dari keluarga ibunya. Bisa ditebak seperti apa euphoria anggota keluarga saat ia terlahir ke dunia. Bapak, Ibu, Emak, Mbah, Mang, Bibi, semuanya seakan gak pake mikir kalau mau ngasih apapun sama anak ini. Meski lahir dari keluarga yang sangat sederhana tapi masa kecilnya dipenuhi ungkapan sayang dari banyak orang. Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi anak yang nice. Anak baik-baik, gak neko-neko, penurut dan gampang terenyuh. Menangis saat melihat pengemis atau melihat musibah atau bahkan saat menonton sinetron adalah hal mudah baginya. Yaaa, sebetulnya lebih sering dibilang cengeng sih.. iya, itu saya, cengeng banget sih memang.. 

Sikap alamiah saya yang cenderung diam, pasif dan gak banyak berontak membuat saya dinilai sebagai anak yang baik, pemalu, penurut sekaligus penakut. Saya lebih suka berperan sebagai follower dan di belakang layar. Saya anti tampil, terlalu mengerikan rasanya. Sampai pernah saat kelas tiga SD saya dipanggil ke depan oleh guru wali kelas karena mendapatkan peringkat tiga. Bukannya girang dan langsung maju, saya malah keringat dingin dan pandangan langsung buram karena berkaca-kaca ingin menangis. Bukan, bukan karena terharu tapi karena takut harus maju ke depan kelas dan menyaksikan puluhan pasang mata memandang ke arah saya. Sungguh mengerikan. Saya juga cenderung anak yang rendah diri. Saya meyakini kalau saya ini anak yang biasa-biasa aja. Gak cantik, gak kaya, gak pinter, gak punya bakat apapun, orangtua saya juga bukan siapa-siapa. Dan itu semua juga bukan sebuah masalah untuk saya, gak apa-apa memang aku orang biasa aja. 

Tapi ternyata ada banyak perubahan seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup yang saya rasakan, terutama sejak masuk ke SMP 2 Bandung, SMA 5 Bandung dan kemudian lanjut ke ITB. Dan di masa-masa itu semua saya rasakan seperti bekal dan pembelajaran berharga untuk saya menjalani kehidupan sekarang sampai di awal usia kepala tiga. 

Diizinkan oleh Allah untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah favorite di kota Bandung ini adalah hal yang sangat saya syukuri. Bertemu dengan banyak sekali teman-teman yang pintar bahkan jenius, berteman dengan orang-orang yang secara status ekonomi jauuh sekali diatas keluarga kami, bertemu dengan para guru dan pengajar terbaik yang tentu memiliki kualitas yang tidak biasa, betul-betul membuka pandangan dan pola pikir saya tentang diri sendiri dan juga dalam memaknai hidup ini. 

Di setiap jenjang pendidikan formal tadi, saya seperti sedang menapaki diri saya satu per satu.
Di SMP 2 Bandung, saya dipertemukan dengan kakak mentor dan teman-teman ekskul rohis di KRM Miftahul Huda. Disini saya menemukan diri saya, menemukan cita-cita yang ingin saya gapai, bahkan "menemukan" Tuhan yang selama ini saya sembah. Melalui mentoring pekanan, kajian-kajian dengan rohis dari sekolah lain, kegiatan pecinta alam, semua itu mengantarkan saya bertemu dengan diri saya yang lain. Saya mulai berani berbicara di depan umum, berani berkontribusi dalam kepanitiaan, bahkan  sampai akhirnya saya bisa menjadi seorang kakak mentor yang memegang beberapa kelompok mentoring. Disana saya menemukan ternyata diri yang pemalu ini bisa menjadi begitu bersemangat dalam berbagi cerita dan bicara banyak hal di circle yang kecil, dalam obrolan yang dekat dan hangat, berbagi cerita dan saling menyemangati dalam hal yang baik. Disini saya seperti baru memasuki gerbang ke dalam diri saya sendiri.

SMA 5 Bandung, sudah bukan rahasia lagi kalau sekolah ini tempatnya anak-anak borjuis. Jalan Bali yang ada di depan gerbang sekolah kami sudah seperti showroom mobil, katanya, saking banyaknya siswa yang membawa mobil ke sekolah. Saya ingat sekali dulu ada teman seangkatan saya yang membawa mobil BMW 2 pintu ke sekolah dengan plat nomor namanya sendiri. Beuh, canggih banget dulu itu rasanya buat saya yang ke sekolah diantar sepeda motor cina punya bapak. Tapi justru disinilah saya belajar banyak tentang pergaulan yang sangat baru bagi saya. Saya si rendah diri ini, mulai diperlihatkan oleh Allah sisi lain kehidupan yang jauh dari keluarga saya. Punya teman anak pejabat kota, pejabat BUMN, pengusaha tajir melintir, dan lain-lain. Dan satu hal yang saya syukuri dan saya apresiasi kepada diri sendiri adalah si rendah hati ini tidak pernah iri pada milik orang lain. Melihat teman-teman yang begitu royal tidak membuat saya berkeinginan untuk mengikuti dengan cara yang tidak baik, seperti memaksa minta macam-macam ke orangtua atau naudzubillah sampai mencuri demi ingin punya uang lebih dan mengimbangi teman yang lain. Saya tetap santai saja dengan jajan seadanya, baju seragam putih yang hanya 2 pasang untuk bergantian dipakai, sepatu yang sudah bocor bagian tumitnya, bahkan saya pernah berjualan nasi kuning dan nasi uduk dagangan ibu saya di rumah untuk teman-teman di kelas. Untuk hal ini, rasanya saya ingiiiin sekali memeluk erat diri saya atas segala kebersahajaan dan keberterimaan atas kondisi diri. Ya Rabb, terima kasih telah memberikan hati yang lembut tapi sekaligus kuat. 

ITB, kampus gajah impian yang tak terbayangkan. Pengalaman di ITB adalah antara pengalaman hitam dan putih. Ada banyak kakak rohis yang khawatir saat mendengar kabar saya masuk ITB Fakultas Seni Rupa dan Desain. Hahaha. Konon kabarnya fakultas seni rupa terkenal dengan lingkungannya yang "hitam", mulai dari mahasiswanya sampai gedungnya yang menyeramkan. Hihiihi. Apalahi duluuu katanya ospeknya itu ada yang disuruh minum darah. Hahaha tapi tentang ini saya belum pernah mengecek kebenarannya. Intinya dulu saya langsung dipesani; "Hati-hati ya, Has", gitu katanya. Tapi yang pasti anak SR sih udah terkenal yang paling nyentrik. Dan bener aja, baru aja mau ospek kampus, udah disuruh berulah aja tu kita. Jadi dulu, pas sebelum OSKM ITB dimulai, kita maba FSRD ni dsuruh kumpul sama senior. Katanya disuruh nentuin atribut khusus yang dipakai sama maba anak SR pas OSKM nanti, dan waktu itu angkatan kami pakai tali pocong doooong. Jadi setelan kami anak SR pas OSKM itu pakai baju SMA plus Jamal plus ngiketin tali putih di lingkaran wajah kami. Malu-maluin banget gak siiii.. Tapi tahu gak sih perasaan saya waktu itu??? Saya malah ngerasa bangga dan asyik aja gitu dengan segala ke-nyentrikan kami. Hahaha, geli juga kalau diinget-inget lagi sekarang. Tapi disinilah saya menemukan diri saya yang lain. Ternyata Hasri si pemalu ini punya keberanian juga ya untuk malu-maluin. Haha  Maksudnya disini saya seperti diajarkan untuk it’s oke to be different. Gak masalah ko kalau kita beda, selama nilai yang kita pegang kita yakini baik dan gak mengganggu orang lain. Terlebih memang karena di SR juga orang-orang lebih bebas dan nunjukin gitu ya, mulai dari style fashion sampai keyakinan, hehehe.. jadinya justru bikin saya belajar juga bagaimana supaya kita tu go ahead aja sama diri kita dan bertanggung jawab dengan pilihan itu. Aseekk..

Di kampus anak SR, balik kuliah jadi marbot masjid. Hehehe. Iya bener. Selama di ITB sejak TPB sampai wisuda saya tinggal di Asrama Salman yang mana dia asramanya ada di kompleks Masjid Salman ITB. Tinggal di masjid, setiap pekan dapet giliran takmir masjid jadi penjaga tempat mukena, rapihin shaf shalat jamaah putri, sampai bersihin selasar ijo waktu itu. Inilah kenapa tadi di awal saya bilang antara hitam dan putih. Hahaha. Tapi justru di titik inilah Allah perluas pandangan saya, bahwa tidak selamanya yang dipandang “hitam” akan penuh dengan keburukan dan tidak selamanya yang dipandang “putih” akan bersih dari kesalahan. Selama kita masih di dunia, peluang benar dan salah itu akan selalu ada dimanapun oleh siapapun manusianya. Dengan melihat dan menjalani dua sisi ini, justru malah memperkaya wawasan, cara pandang, pergaulan, pola pikir, dan pengalaman saya. Dan membuat saja jadi gak mudak melabeli sesuatu hanya karena tampilan luarnya saja. Banyak sekali pemikiran teman-teman di seni rupa yang melengkapi frame berpikir saya yang selama ini lebih banyak bergaul di rohis. Saya juga belajar untuk bisa lebih luwes dalam bergaul dan menyampaikan ide serta menerima ide orang lain. Dan lingkungan masjid jadi membuat saya memiliki "rem" tersendiri saat ada keinginan untuk melenceng-melenceng. hehehe

Masyaallah pokoknya, rasanya setiap step tadi adalah tangga saya untuk mengenal diri saya lebih dalam lagi. Dan saat titel mamah gajah ini hadir di kehidupan saya yang memilih sebagai Ibu Rumah Tangga, sering banget dikatain, "Sayang banget ih, lulusan ITB tapi di rumah doang" gitu.. Awal-awal sempet gerah juga sih ya dikatain gitu. Tapi lama-lama biasa aja. Biarin mereka yang ngatain, karena saya sendiri yang ngerasain betapa gak pernah menyesalnya saya pernah menjadi bagian dari kampus gajah, apapun peran yang sedang saya jalani saat ini. Karena memang pengalaman menempuh pendidikan di ITB itu gak cuman sekedar ilmu SKSnya aja tapi lebih mahal dari itu. Pernah sekolah di ITB membuat saya punya mata dan jendela yang semaaakin luas lagi. Ilmu keprofesian tentunya, pertemanan, persahabatan, lingkungan yang menumbuhkan dari banyak aspek, terlebih koneksi kealumnian yang bahkan sampai ke bidang-bidang diluar jurusan dan fakutas yang ada di ITB sekalipun, seperti MGN ini. #hug. 

Bersyukur sekali sudah menjadi bagian dari ITB, bersyukur sekali pernah merasakan berjuang disana dan bersyukur sekali karenanya saya memiliki circle menumbuhkan yang gak ada habisnya. 






Thursday, 20 May 2021

Akhirnya corona sampai di beranda rumah kami

4 Desember 2020. 

Hari Jum'at pagi, aku bangun dengan badan yang terasa berat. Tadi malam tidurku tidak terlalu nyenyak. Ku dengar, kamar mandi di sebelah kamarku pun bulak balik dibuka. Rupanya mbak semalaman tidak bisa tidur dan bulak balik ke kamar mandi. Mekanisme tubuh memang selalu sejalan beriringan dengan perasaan kita. Meski ia seringkali dikambing-hitamkan, nyatanya memang perasaan hati adalah pengontrol paling penting keseimbangan fisik kita.

Aku pergi ke dapur, mencoba berpikir harus menyiapkan apa untuk pagi ini. Kubuka kulkas, ternyata tidak ada bahan makanan disana. Aku ingat masih ada lauk yang dibekukan di freezer. Ada nasi sisa tadi malam. Aku keluarkan lauk dari freezer. Kuambil dandang untuk memanaskan nasi. Tak lama, mbak datang ke dapur dengan wajah yang kusut. Sempat ada perbincangan singkat antara aku dengan mbak, tentang langkah kita selanjutnya akan seperti apa. Tapi pembicaraan masih menggantung. Ya, kami semua masih blank. Dan saat itu aku hanya berhasil memanaskan nasi sisa tadi malam. 

Subuh yang terasa panjang. Ada perasaan yang penuh di dalam dada. Ada pikiran yang jauh pergi kesana kemari. Ada fisik yang yang  terasa gontai.

Sekitar pukul tujuh, mbak meminta kami  bersiap-siap untuk melakukan swab. Pukul 08.30 kami sekeluarga harus sudah berada di rumah sakit. 

Pukul delapan kami selesaikan sarapan dan sekitar 08.20 kami menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan yang singkat itu kami tidak mengobrol. Hanya di tengah perjalanan mas memecah kesunyian dengan mengajak putri pertama kami untuk mengaji surat alam nasyrah. Kami ulangi berkali kali sampai di belokan terakhir menuju rumah sakit, mas menjelaskan kepada anak-anak bahwa sekarang kita semua akan ke rumah sakit untuk diperiksa, karena uti sakit. 

Mereka anak-anak kecil tentu tidak paham. Mengapa uti yang sakit tapi mereka yang diperiksa. 

Sampai di rumah sakit, badanku terasa semakin gemetar. Tapi aku pura-pura. Di dalam pikiranku, tak kuasa membayangkan anak-anak ini harus menjalani tes swab yang katanya rasanya tidak nyaman itu. Mereka masih berusia lima setengah tahun, dua setengah tahun, bahkan putri kecilku baru saja genap berusia empat bulan. 

Nama kami dipanggil, kami masuk berlima. Yang pertama mas, supaya selanjutnya ia bisa menemani anak-anak kami. Diluar dugaan. Dipangkuan ayahnya, mereka sama sekali tidak menangis saat dimasukan alat tes itu ke hidungnya. Hanya meringis sebentar, lalu selesai. Bayi kami pun sama, ia yang asalnya tidur, hanya terbangun. Dan tidak menangis sedikitpun. Anak-anak hebat. Padahal aku saja sampai mengeluarkan air mata saat swab di hidung. 

Hari itu kami masih menghabiskan waktu bersama, di ruang tv dan kamar. Anak-anak bermain bersama ayahnya. Malam hari kusempatkan memijit mas, setelah sekian lama rutinitas itu berkurang seiring bertambahnya jumlah anak kami. hehe. Hari itu masih seperti hari-hari biasanya. 

Malam semakin larut, tapi kabar tentang hasil swab belum datang juga. Katanya hari itu banyak sekali yang melakukan tes swab sehingga pihak rumah sakit cukup kewalahan. Akhirnya malam berlalu saat aku tertidur setelah menidurkan bayi kami. 

Kisah Ibu

3 Desember 2020.

Hari kamis pagi, ibu melakukan tes swab. Seperti biasa ibu terlihat biasa saja. Sebelum dzuhur ibu sudah pulang, katanya sambil menunggu hasil swab, ia diminta untuk isolasi mandiri. Katanya hasilnya keluar sekitar sore atau malam. Akhirnya sejak saat itu ibu menghabiskan waktu di kamarnya saja. Tidak bermain ataupun bercengkrama dengan anak cucunya.

Anak-anak sesekali masih mencari uti-nya. Tapi dengan sedikit penjelasan mereka bisa dipahamkan kalau sementara tidak boleh dekat-dekat uti dulu.

Malam beranjak, kami sempat pergi keluar untuk belanja bulanan. Ibu tinggal di rumah sendirian, sambil menunggu hasil swab keluar. 

Malam itu seperti biasa, anak-anak masih bangun hingga pukul 22.00 tapi tidak lama mereka sudah kelelahan dan tidur. Saat itu tiba-tiba mbak menghampiri kami yang berada di ruang tv. Menyerahkan hpnya pada mas. Ternyata ada kabar dari rumah sakit bahwa ibu terkonfirmasi positif covid. 

emh, saat itu aku berusaha tenang. Tidak mengeluarkan satu kata pun. Mbak tidak bisa menahan air matanya, dan kembali ke kamar. 

Aku dan mas masih sama-sama diam. Berusaha mencerna apa yang baru saja kami baca. Kami tak banyak ngobrol apalagi diskusi. Hanya melanjutkan apa yang sedang kami lakukan sebelum mbak datang tadi, melihat ponsel masing-masing. 

Dalam diamku, gerakan jempolku pada ponsel, ada hati yang tak tenang disusul getaran ringan disekujur tubuhku. Tapi aku tak menunjukannya. Sementara dia yang ada di sebelahku, mungkin hatinya lebih tak karuan lagi. Mungkin hatinya hancur, menghadapi kenyataan bahwa ibunya terpapar virus itu. Mungkin saat itu juga ia ingin menangis seperti mbak, tapi raganya kuat menutupi itu semua.

Malam itu, akhirnya corona sampai di beranda rumah kami. 

Followers